Kampus-kampus besar di Jawa Barat menjadi pos-pos penyebaran paham-paham radikal. Masjid-masjid sejak dahulu memang jadi main-target pembibitan paham radikal.
Rekrutmen anggota-anggota baru gerakal radikal disetting menyasar mahasiswa.
Status kedosenan UAS bukan jaminan konten ceramahnya berbobot ilmiah. Sebaliknya, melihat jejak digital dan perjalanan karier UAS hingga tenar seperti sekarang, konten ceramahnya selalu panas karena berbobot ideologis. Tidak heran sekali pun UAS dosen, pada detik-detik menjelang Pilpres kemarin, ia memerankan diri sebagai dukun-spiritual kemenangan kubu Prabowo.
Manhaj Dakwah Aswaja
Pembatalan sepihak oleh UGM, Pondok Pesantren Al-Achsaniiyah Kudus, panitia Belanda (Utrecht, Den Haag, Amsterdam) adalah jawaban atas sofisme UAS. Jalan manhaj dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) bukan untuk mendorong kontroversi, kericuhan, kebencian, dan memancing perpecahan. Sebaliknya, prinsip dakwah Aswaja adalah tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil).
Moderat dan toleran dibutuhkan, misalnya, karena bangsa yang hidup di negeri ini heterogen-majemuk-plural. Perhatikanlah bagaimana para Wali Songo mendakwahkan Islam di Tanah Jawa; Sunan Kalijaga menggunakan media wayangan, Sunan Bonang menggunakan media gendingan, Sunan Kudus melarang korban sapi demi menghargai kebudayaan Hindu.
Bahkan, Syeikh Siti Jenar dan Syeikh Mutamakkin menggunakan filsafat esoteris untuk mengimbangi perkembangan filsafat Jawa.
Grusa-grusu, tidak seimbang dan tidak adil, bukan manhaj dakwah Aswaja. Umat muslim tahu betul manhaj dakwah Khawarij yang haus darah, Murji’ah yang liberal ekstrim, dan lainnya dalam sejarah. Tetapi, mencontoh semua itu tidak cocok untuk bangsa kita yang adem ayem, guyub rukun, dan tidak mudah panas hati panas kepala.
Perhatikan pula perilaku ulama-ulama Nusantara kita dalam mengaji dan membahas persoalan agama. Dengan seruputan kopi pahit dan semburan asap rokoknya, mereka santai, kalem, tapi mencapai kedalaman pemikiran. Tidak gampang sakit hati dan panas kepala, tapi mereka mampu menerima perbedaan, keragaman, dan pro-eksistensi. Tetapi, sejak kaum Sofis ini bangkit, mengajarkan relativisme, dan suka memaksakan kehendak, semua hancur berantakan.
*alumni Universitas al-Azhar; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia; Wakil Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah; Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.