Tidak ada parameter yang terukur dari stastik fisik pemain sehingga pemain yang tidak kuat main 2 X 45 menit juga diturunkan dengan risiko nafas terengah-engah di babak kedua dan menyebabkan kesebelasan menjadi keok.
Banyak alasan kesebelasan kita tidak Memperatekban sepak bola ilmiah: mulai dari soal alasan biaya sampai alasan para pemain dan klub tidak mau kondisi pemain yang sebenarnya diketahui secara terbuka.
Dalam konteks ini menjadi wajar jika kita mengalami kekalahan yang begitu banyak dan dengan skor besar pula.
Baca: Sepuluh Kelemahan Kesebelasan Nasional Indonesia (Bagian 2)
Ketika kita masih memakai ilmu “kira-kira,” lawan sudah menerapkan ilmu sport kedokteran dengan parameter terukur.
Cita-cita menggapai prestasi boleh setinggi langit, tapi tanpa ada dukungan sport science atau kedokteran sepak bolah, cita-cita itu bagaikan pungguk merindukan bulan.
Makanya harus ada upaya serius untuk menerapkan sport science buat kesebelasan nasional kita.
(6) Tidak ada Budaya Ngotot Menang
Sebagai pemain nasional, tentu dalam dada pemain ada keinginan untuk selalu tampil menang.
Siapa sih yang gak mau menang ketika terjun membela kesebelasannya menjadi pemenanh?
Tapi keinginan itu sering kali tidak diikuti dengan tekad besar untuk mewujudkannya di lapangan.
Hanya pada sedikit pertandingan saja kita melihat para pemain kesebelasan nasional Indonesia tampil mati-matian, selebihnya dengan pelbagai faktor, keinginan menang tidak diwujudkan dengan penampilan ngotot tidak mau kalau.
Baca: Sepuluh Kelemahan Kesebelasan Nasional Indonesia (Bagian 3)
Tidak terlihat pemain menyerahkan “jiwa dan raga” untuk ibu pertiwi. Tidak terlihat para pemain ingin mempersembahkan “sampai titik darah penghabisan.”
Para pemain kalau sudah cape tidak mau lari mengerahkan sisa-sisa tenaga sampai benar-benar tenaganya habis.
Tidak terlihat upaya, apapun yang terjadi, saya harus kerja keras membawa Indonesia menang.
Bukan sekadar tampil teknikal atau merasa kesebelasan lawan lebih bagus, tetapi tidak ada usaha menangkal secara lahir batin.