Bertauhid di Zaman Ujian
Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA. ( Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama -PBNU-)
TRIBUNNEWS.COM - Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Sebagaimana raga yang selalu berubah-ubah, jiwa juga. Raga bisa sakit, bisa sehat. Dari muda jadi tua. Cerdas cemerlang tiba-tiba pikun dan pelupa.
Iman dan tauhid pun juga begitu. Iman turun-naik. Hati mudah bolak-balik. Sebab, watak alamiah hidup adalah perubahan. Boleh jadi hari ini seseorang beriman, besok belum tentu; hari ini bermaksiat, besok mungkin sudah bertaubat.
Apalagi di zaman mihan, yang penuh cobaan dan ujian, seperti sekarang, beriman dan bertauhid bagaikan menggenggam bara api. Bila tidak waspada diri, perubahan sedikit pun, semisal merebaknya virus corona, bisa saja membuat iman tauhid sirna. Hilang kepercayaan pada kuasa dan kehendak Tuhan.
Padahal, perbedaan orang beriman dan tidak beriman juga sangat tipis. Orang beriman melihat keterlibatan Tuhan di balik setiap peristiwa dan perubahan. Sedangkan orang tidak beriman terjebak dalam realitas materiil yang lahiriah semata. Mereka tidak percaya pada Tuhan.
Imam Junaid Baghdadi memaknai tauhid sebagai “makna tadhmahillu fihi al-rusumu wa tandariju fihi al-‘ulumu, wa yakunu Allahu ta’ala kama lam yazal”; sebuah makna atau pengertian yang mampu menekuk segala rupa dan merangkum segala pengetahuan, dan Allah ada selama-lamanya.
Pengertian tauhid ini juga disebut ma’rifat, yakni mengenal Allah dengan benar. Dengan ma'rifat semacam itu, realitas yang beragam dilipat dan Allah Yang Maha Absolut tanpa dan tanpa akhir.
Imam Junaid berkata, “ketahuilah, ibadah kepada Allah yang pertama adalah ma’rifat tentang-Nya. Pokok utama ma’rifat Allah adalah mentauhidkan-Nya.”
Ketika wabah menelan ribuan nyawa, sebagian pulih dan sebagian wafat, tenaga medis dan ulama berjuang dengan cara masing-masing, orang bertauhid punya satu pengetahuan: Allah di balik segalanya. Sehingga tidak perlu cemas berlebihan dan takut berlebihan. Kondisi psikosomatik begitu merusak kesehatan juga iman dan tauhid.
Tauhid paling murni adalah Tauhid Dzat, yakni menafikan sifat-sifat maupun Asma Allah. Manusia mentauhidkan Allah dengan Allah sendiri. Namun begitu, pengalaman tauhid Dzat ini tidak mudah didapat, kecuali oleh orang yang dibimbing langsung oleh Allah.
Selanjutnya, Tauhid Dzat ini disertai sikap tashdiq (pengakuan) tentang Allah. Ini buah manis Tauhid Dzat. Dengan bermodal hati yang sudah tashdiq, seseorang bisa tulus menerima kenyataan dan pernak-pernik kehidupan lainnya. Sekalipun itu pahit dan getir.
Warna-warni dalam realitas hidup dipahami sebagai wujud kehendak dan kuasa Allah, termasuk adanya wabah corona pun. Ia tetap akan berikhtiar mencari obat kesembuhan, karena begitu memang sunnatullah. Namun, ia bertawakal dalam kepasrahan total, sebagai wujud pernyataan bahwa hatinya sudah tashdiq.
Tashdiq itu sendiri pintu masuk ke fase lebih tinggi, yakni tahaqquq (kemantapan penuh) tentang Allah. Jiwa orang yang sudah tahaqquq menjadi lebih tegar, lebih tangguh dalam segala medan, tidak split (terbelah). Perubahan eksternal yang tak terkendali atau peristiwa alam yang terjadi di luar kemauan manusia sama sekali tidak berpengaruh negatif. Rileks dan santai menghadapi musibah dan bencana.
Maqom tahaqquq membuahkan Wushul. Dalam maqom wushul ini, orang bertauhid mendapatkan bayan (keterbukaan) dan kasyaf (penyingkapan). Rahasia-rahasia Allah dan rencana-rencana-Nya dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi dipancarkan ke dalam hati sang hamba. Namun, pencapaian ini berbeda-beda bagi setiap orang sesuai kehendak Allah atasnya.