OLEH: Romanus Muda Kota S.FIL., SH., MH.
Adagium ‘taklukan bumi’ seolah membenarkan kekuasaan manusia atas semesta. Semesta menjadi subordinasi dari manusia karena klaim manusia sebagai puncak atau mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Semesta tidak memiliki kekuasaan yang lebih hebat dari manusia.
Rene Decartes (1596 – 1650) membenarkan berbagai pergumulan antara manusia dan alam melalui pemikiran yang menempatkan rasionalitas sebagai puncak dari cara keberadaan manusia di tengah semesta.
Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) membuat rasionalitas berkembang liar dan mulailah penaklukan manusia atas alam dengan cara irasional karena kerakusan dan hedonism yang tak terbatas. Semakin seseorang menjadi kaya maka semakin merasa dirinya hebat atas sesama dan semesta.
Karena itu berkembanglah berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai jawaban atas keunggulan rasisonalitas manusia atas segala yang tercipta. Manusia berlomba menciptakan teknologi untuk menguasai kekayaan semesta dan mengeksploitasi semesta seolah semesta bereksistensi tak terbatas.
Di sini ada kebanggaan manusia sebagai pihak yang mampu menaklukan alam meski proses berpikir ini kemudian mulai bergeser karena ketakutan manusia akan efek negatif dari sifat rakus dan salah kaprahnya di masa lalu.
Bahkan dengan rasionalitas itu manusia melupakan kewenangan mutlak atas semesta ada di tangan sang pencipta semesta itu sendiri. Allah yang membumi. Keangkuhan manusia akan menjadi tantangan terbesar manusia itu sendiri.
Homo hominis lupus akan terjadi bukan pertama karena adanya angkara murka semesta terhadap manusia, tetapi karena keserakahan manusia dan keangkuhan manusia untuk menjadi yang pertama dan yang teratas terhadap manusia yang lain.
Perlombaan pada jejak awal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah penaklukan semesta, namun kini tampaknya berubah arah menjadi upaya penaklukan pada sesama yang lain melalui perlombaan kekuasaan atas teknologi dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menguasai dan menaklukan sesama.
Paradigma berpikir negara-negara besar dan kuat seperti Amerika Serikat dan China bergeser dari penguasaan alam kepada penguasaan sesama manusia.
Superioritas manusia atas alam bukan lagi sebuah tantangan karena alam sejengkal lagi ludes dalam genggaman manusia yang maruk dan angkuh.
Yang dicari sekarang adalah menaklukan sesama yang lain supaya superioritas itu tetap terjaga atau adanya upaya maksimal untuk merebut superioritas itu dari tangan yang lain.
Ambisi-ambisi kekuasaan yang kebablasan terhadap semesta dan manusia menyebabkan manusia kehilangan daya untuk mengontrol emosi kekuasaan dalam batas-batas yang bisa diterima oleh alam dan akal sehat sesama yang lain.
Semesta dalam konteks perebutan superioritas ini hanya menjadi media untuk mewujudkan ambisi terselubung
"Saya harus menjadi nomor satu” di antara bangsa-bangsa. Alam dan kesemestaannya hanya dipergunakan sebagai lumbung uang untuk menaklukan sesama yang lain. Dengan demikian superioritas saya yang saat ini saya genggam atau sedang memperjuangkan superioritas itu tidak boleh gagal. Dan untuk mewujudkan superioritas itu segala upaya harus dilakukan."