Misi lain dalam penulisan buku ini juga diharapkan agar gebyok dan RAK tidak hanya dapat dilestarikan namun juga agar dapat dicatatkan sebagai salah satu warisan budaya asli Indonesia yang diakui sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia oleh dunia dalam domain keahlian pertukangan yang termasuk di dalamnya motif dan pola yang dihasilkan.
Pada tahun 2016, RAK sudah dicatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai WBTB
Indonesia. Dalam pencatatan, RAK disebut sebagai warisan budaya yang memiliki gaya seni bangunan tradisional dengan bentuk/struktur/fungsi/ragam hias dan filosifi perpaduan budaya pra Islam, China dan budaya Islam di Kudus.
Setahun kemudian atau 2017, RAK baru ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai WBTB Indonesia dalam domain keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Meski ditetapkan sebagai WBTB Indonesia, sayangnya bagian dalam RAK yang terdiri dari gebyok atau partisi, yang menjadi satu kesatuan dengan RAK, sama sekali tidak ikut disebutkan sebagai WBTB Indonesia secara terpisah.
Penyebutan RAK berikut dengan bagian dan maknanya, tanpa menegasikan gebyok, menurut penulis dan berdasarkan wawancara dan sejumlah referensi, tidak memberikan kekuatan yuridis dan pengakuan budaya terhadap gebyok sebagai ikon dan penopang RAK itu sendiri.
Salah satu implikasi tidak adanya pengakuan gebyok sebagai karya cipta dan WBTB Indonesia,
menyebabkan gebyok seolah “tidak ada” pemiliknya sehingga bisa bebas dan leluasa dibawa dan
diperjual-belikan ke manapun, meski secara ketentuan Undang-Undang Hak Cipta dan Cagar Budaya, kepemilikannya harus dilindungi dan dikuasai oleh negara.
Hal itu tentu mengkhawatirkan banyak pihak karena bisa menghilangkan pengakuan secara hukum dan nilai-nilai budaya serta karya cipta gebyok itu sendiri sebagai karya bangsa. Akibatnya, bukan tak mungkin, suatu saat gebyok pun bisa diakui oleh bangsa lain sebagai karya ciptanya, apalagi jika merasa memiliki akar budaya yang hampir sama.
“Harapannya, kini, gebyok sebagai Ikon rumah Jawa juga dapat dijadikan WBTB dunia oleh Unesco,
seperti halnya RAK, yang baru sebatas WBTB Indonesia. Apa yang dirintis oleh Jakob Oetama dengan melestarikan RAK, dapat diikuti pula oleh Pemerintah Pusat dan Pemkab Kudus dengan
mendokumentasikan gebyok berikut segala informasinya untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya,” tutur Triatmo Doriyanto.(***)