Tuntutannya terhadap dua terdakwa dinilai janggal, melengkapi puluhan kejanggalan lainnya, dan melukai rasa keadilan publik.
Bila memang Fedrik hanya sekadar wayang, begitu pula Ronny Bugis dan Rahmat Kadir yang terkesan mudah "menyerah", lantas siapakah dalang (sutradara) sekaligus penulis skenarionya?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, sinyalemen Novel Baswedan tampaknya patut dipertimbangkan. Novel pernah mensinyalir ada oknum jenderal yang diduga terlibat dalam kasus teror yang menimpa dirinya.
Apakah dalang atau sutradara sekaligus penulis skenario pertunjukan wayang atau sandiwara kasus Novel itu adalah oknum jenderal tersebut? Kita tidak tahu pasti, dan mungkin tak bisa berharap banyak.
Sebab, berharap terungkap dan tertangkap siapa aktor intelektual di balik dua terdakwa, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, yang kita tengarai sekadar "stuntman" atau pemeran pengganti, seperti menunggu Godot yang tak jelas kapan datangnya, bahkan mungkin tak akan pernah datang.
Maklum, teror Novel Baswedan ini merupakan "high profile" atau kasus kakap yang aromanya menyerupai kasus Antasari Azhar dan kasus Munir yang diduga sarat rekayasa.
Maka jangan berharap pelaku sesungguhnya, dalang (sutradara) atau penulis skenarionya akan terungkap apalagi tertangkap. Yang muncul di permukaan adalah sekadar eksekutor lapangan atau bahkan "stuntman", sementara "intelectual dadder" atau aktor intelektualnya tak tersentuh. Mereka adalah "invisible hands" dan juga "superman" yang berperan di balik layar.
Alhasil, benar kata Tere Liye (41) bahwa di negeri para pedebah kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata.
Benar pula kata Taufiq Ismail (85) bahwa dunia ini panggung sandiwara: ada peran wajar, ada peran berpura-pura!
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.