Ironis, memang. Lebih ironis lagi, sang orator dalam demonstrasi itu mendesak polisi menangkap inisiator RUU HIP.
Agaknya mereka lupa bahwa anggota DPR RI memiliki imunitas atau kekebalan hukum saat menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya, termasuk bebas berbicara.
Secara spesifik, anggota DPR RI dilindungi UU No 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3.
Sudahlah, jangan terus-menerus terjadi kegaduhan. Kasihanilah rakyat yang saat ini tertimpa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Rakyat tidak terlalu peduli dengan RUU HIP itu, meskipun kontroversial. Terbukti, banyak peserta aksi yang tak mengetahui apa tujuan aksi, apalagi RUU HIP.
Lagi pula, pemerintah sudah menyatakan tidak akan membahas RUU HIP itu, dan DPR pun menghentikan pembahasannya.
Kalau memang khilaf, siapa pun dia, patut untuk minta maaf, apalagi PA 212 yang diasosiasikan dengan Islam, dan Islam adalah "rahmatan lil alamin".
Bila PA 212 bersedia minta maaf, PDIP pun niscaya akan memaafkannya, dan mengurungkan niat untuk menempuh langkah hukum. Jadi, ada "win-win solution", tak ada yang kalah dan kehilangan muka, semua menang.
Bila mau dikembangkan, bisa saja dipersoalkan darimana demonstran mendapatkan bendera Palu Arit?
Mereka menyita dari pihak lain atau memproduksi sendiri? Kalau menyita dari pihak lain, mengapa mereka tidak melaporkannya ke aparat penegak hukum? Kalau memproduksi sendiri, tentu ada konsekuensi hukum.
Memang, tak mudah berada di panggung kekuasaan. Tak mudah pula menjadi rakyat yang tidak dirangkul kekuasaan. Tapi itulah ujian kita semua sebagai negarawan.
Kini, energi bangsa ini sudah terkuras untuk mengatasi pandemi Covid-19. Jangan lagi dikuras habis untuk hal-hal yang kurang produktif.
Bangsa ini perlu kedamaian, perdamaian, persatuan dan kesatuan dalam menghadapi tantangan masa depan yang kian tak mudah.
Di sana cahaya menggaris kelam, pagi pun bangkit membereskan mimpi semalam. Insya Allah!
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.