News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Hagia Sophia, Sandi 'Penaklukan' Politik Domestik Turki

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto diambil pada tanggal 26 Juni 2020 di Istanbul, seorang turis mengambil foto bagian tengah utama Hagia Sophia melalui Gerbang Kaisar. Pengadilan tinggi Turki pada 10 Juli 2020 mencabut status Hagia Sophia abad keenam sebagai museum,

Mendirikan Partai Demokrat pada tahun 1946, partai oposisi resmi ke-4 di Turki, kemudian menjadi Perdana Menteri Turki antara tahun 1950–1960, dan berakhir di tiang gantung setelah kudeta militer 1960.

Namun, menjadi salah satu dari 3 pimpinan politik Turki yang dibangunkan mausoleum untuk penghormatan, selain Mustafa Kemal Ataturk dan Turgut Özal.
 
Meskipun Menderes mengembalikan Adzan menjadi bahasa Arab, dia tidak berani mengambil langkah apa pun tentang Hagia Sophia.

Sebab ini berkaitan dengan hubungan internasional pada waktu itu. Menjaga hubungan sedekat mungkin dengan Barat dan Yunani merupakan 'prasyarat' Turki menjadi anggota NATO pada tahun 1952.

Saat itu, tema penaklukan sangat sensitif, terlihat dari konsekuensi penulis puisi untuk Hagia Sophia, seperti Osman Yüksel Serdengeçti, yang akhirnya musti menerima konsekuensi diadili.
 
Puisinya, yang merupakan subjek persidangan, sebenarnya mewakili emosi dan aspirasi sayap Turki-Islamis untuk Hagia Sophia.
 
Memang, ketika Atatürk memerintahkan Hagia Sophia untuk diubah menjadi museum pada tahun 1934 juga muncul banyak reaksi.

Akan tetapi, sebagian masyarakat lebih memilih untuk menentang dan mengkritik langkah-langkah yang diambil dalam periode partai tunggal pada 1950-an dan tahun-tahun berikutnya, mencoba melakukan ini tanpa berani menyerang Atatürk secara pribadi, begitupun soal kebijakan Hagia Sophia.
 
Memori Terdalam yang Tidak Dapat Dicerabut
 
Diantara upaya mencerabut memori, Hagia Sophia menjadi artefak penting bagi kalangan Islam yang sepertinya tidak berhasil dicerabut dari agenda Turkisasi ala Nasionalis Kemalis yang Islamophobia dan Xenophobia.
 
Ini disebabkan memori sejarah yang telah mengendap ke alam bawah sadar mayoritas warga Turki.

Dahulunya, Hagia Sophia merupakan Gereja yang dibangun oleh Kaisar Bizantium Justinianos untuk mencerminkan kehebatan dan kekuata dari kekaisaran dan dibuka untuk beribadah pada tahun 537 sebagai pusat agama Kristen Timur selama 9 abad.

Itu adalah gereja pusat dari Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Kekaisaran Ottoman mengambil alih kehebatan ini dari tahun 1453 atas nama kerajaannya sendiri dan Islam. Selama 481 tahun ke depan, Hagia Sophia digunakan sebagai masjid kekaisaran. Pada periode Ottoman.
 
Keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum pada tahun 1934 terdiri dari beberapa tahap hingga 1934.

Transformasi yang paling mendasar adalah dengan transisi ke Republik. Karena hingga saat itu, Hagia Sophia, sebuah masjid kekaisaran Ottoman, sekarang menjadi masjid yang normal.

Dalam proses penghapusan kesultanan pada tahun 1922, transisi ke republik dan penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924, makna simbolis dari Hagia Sophia sepenuhnya disingkirkan. 

Selain itu, pada tahun 1925, makam sultan, ditutup oleh mahkamah.

Dua tahun sebelum status museum, pada malam Lailatul Qodar pada tanggal 3 Februari 1932, sesuai dengan proses Turkisasi adzan, Hagia Sophia dijadikan tempat even membaca Alqur-an diselenggarakan di Hagia Sophia dengan instruksi dari Atatürk.

Namun, ini sebenarnya bagian dari program Kemalis menghapus Teks, Bahasa, dan Budaya Arab
 
Saat itu, Hagia Sophia menjadi pusat perhatian massif warga Turki dengan partisipasi puluhan ribu orang.  Dimana beberapa hari sebelumnya, pada 30 Januari 1932, adzan Turki pertama digaungkan di Masjid Fatih.

Segala protes kalangan Islam terhadap gerakan Nasionalis Kemalis semacam itu hanya dapat bertahan hingga akhir tahun 1940-an.
 
Reformasi ini merupakan cerminan dari keinginan Republik untuk menjauh dari identitas "peradaban Islam" dan beralih mendekat ke peradaban Barat. Ideologi nasionalisme dianggap lebih fungsional, karena mereka percaya ini bisa terjadi melalui nasionalisasi. Oleh sebab itu, mereka ingin menasionalisasi agama.
 
Kaum Islamis marah karena proyek-proyek kaum nasionalis untuk menasionalisasi agama sama-sama merupakan gangguan terhadap kebebasan beragama. Inilah yang membuat kalangan islamis mendorong transisi demokrasi ke kehidupan multi-partai dan terutama tahun 1950-an.
 
Dampak Bagi Persepsi Internasional dan Clash of Civilization
 
Di sinilah pertarungan atau kontestasi sebenarnya yang dituju oleh Erdoğan. Pertarungan arus nasionalisme demokratik yang lahir 1950-an dengan nasionalisme Kemalis yang lahir 1930-an.
 
Erdoğan hendak membangkitkan trauma warga Turki terhadap lawan politiknya, menyadarkan Kemalis, nasionalisme sekuler, tetaplah berkuasa untuk tujuan menjauhkan diri dari masa lalu sejarah kakek-moyang Ottoman dan Islam.

Mereka ingin peran Islam tidak terlalu dominan dalam identitas nasional yang mereka coba ciptakan untuk warga negara Republik.  Menurut nasionalisme dan sekularisme Kemalis, reformasi dalam agama sangat penting untuk pembangunan identitas nasional.
 
Meskipun demikian, dampak luar negeri dari kebijakan Erdoğan terkait Hagia Sophia ini justru perlu dikalkulasi. Tentu akan banyak dampak bagi persepsi masyarakat non-Muslim di luar Turki.
 
Terdapat kekhawatiran ketika kebijakan ini dikaitkan dengan kampanye Erdoğan tentang agenda pembebasan Al-Aqsha.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini