Karena itulah, saya tidak heran atas gagasan jalan ketiga peran intelektual yang digagas Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A. dalam pidato pengukuhan guru besar UGM tsb. Kesemuanya bertopang dari daya kritisnya.
Baca: Perkuat 4 Pilar MPR, Gus Jazil: Mari Kita Bangun Taman Renungan Bung Karno Di Ende
Melalui daya kritis dan tradisi intelektual yang sama, Mas Conny, memberikan pemaknaan secara akademis atas label melekat yang ditujukan ke PDI Perjuangan seperti demokrasi arus bawah, mimbar demokrasi, posko gotong royong, penggembira politik, hingga label PDI Perjuangan sebagai Partai Wong Cilik.
Pemaknaan secara akademis tersebut menjadi basis intelektual atas proses konsolidasi demokrasi dan kristalisasi ideologi. Melalui dialog intens dengan Ibu Megawati, Cornelis Lay juga mampu mengurai kegelisahannya ketika berkiprah di dua bidang yang diperhadap-hadapkan. Ia adalah ilmuwan yang akrab dengan dunia politik.
Penghayatannya pada ajaran-ajaran Bung Karno, dan pengalaman empiris selama berinteraksi dengan Ibu Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan membuktikan bahwa peran intelektual sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kekuasaan. Akan tetapi watak dan cara kekuasaan yang terbentuk harus berinti pada kemanusiaan.
Pemikiran Mas Conny sangat kontekstual. Harus ada ruang tradisi intelektual dalam kekuasaan agar terjadi konvergensi antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang dipertemukan dalam bentuk pengabdian pada kemanusiaan.
Jalan ketiga dalam politik Indonesia kontemporer bagi kaum intelektual sebenarnya mewujud pada diri Cornelis sendiri. Ia mampu memberikan warna intelektualitas pada praktek politik di PDI Perjuangan. Di sisi lain, ia juga tidak kehilangan kekritisan akademis ketika berada di antara para politisi.
Kebebasan ruang gerak kaum intelektual ke dalam praktek politik Indonesia tanpa meninggalkan daya kritis keilmuan atau pun menggadaikan pemikiran demi kekuasaan akan menjadi gerbang bagi kebangkitan bangsa di masa depan.
Sebab bangkitnya sebuah bangsa sangat ditentukan pada kemampuan mensinergikan kekuatan politik, kekuatan kaum intelektual, dan kekuatan masyarakat.
Kepada Mas Conny, seluruh kader PDI Perjuangan ikut menghayati apa yang menjadi pesan Bung Karno, bahwa dalam setiap perjuangan, pahit-getirnya perjuangan, seluruh romantika, dinamika, dan dialektikanya perjuangan, kesemuanya tidak ada yang sia-sia.
Terlebih ketika perjuangan itu didedikasikan bagi kepentingan bangsa dan negara; kepentingan ilmu pengetahuan, dan kepentingan umat manusia pada umumnya. Maka tidak ada perjuangan yang sia-sia, no sacrifice is wasted!!!.
Mas Conny, Bung telah memberikan cahaya terang bagi kehidupan politik yang mengedepankan jalan kemanusiaan. Terimalah rasa terimakasih kami, rasa hormat kami dari seluruh simpatisan, anggota, dan kader PDI Perjuangan. Selamat jalan Mas Conny, engkau telah pergi, namun pemikiranmu akan semakin bersemi.