Situasi bisnis yang semula normal berubah menjadi tidak normal dan berpeluang mengarah pada kondisi krisis perusahaan BUMN Transportasi.
Kebijakan ini in-line dan diterjemahkan secara komprehensif oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang Dalam rapat bersama Komisi VI DPR pada Kamis, 3 Juni 2021, Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa jumlah bandara yang dapat didarati maskapai asing perlu dibatasi.
Saat ini, ada 30 bandara internasional di Indonesia yang dapat didarati maskapai asing.
Jumlah ini dinilai terlalu banyak. Apa yang disampaikan Menteri Erick Thohir ini sudah dibahas bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi selaku regulator transportasi nasional.
Salah satu tujuannya adalah untuk memaksimalkan maskapai nasional, baik maskapai pelat merah maupun airlines swasta.
Dengan pembatasan ini, Garuda Indonesia, CitiLink, Batik Air, dan airlines nasional lainnya yang membawa penumpang dari bandara internasional ke bandara domestik dan dari bandara domestick satu ke bandara domestik lainnya.
Selain itu destinasi akan bisa diatur didalam negeri sendiri dan ini semua juga disinergikan secara bersama dalam ekosistem Holding BUMN Penerbangan yang akan memberikan multiplier effect terhadap Pariwisata Indonesia dimana Pariwisata jelas merupakan kontributor besar terhadap devisa negara.
Sehingga Holding BUMN ini dinamai Holding Pariwisata & Pendukungnya, yang saat ini sedang digodog di Kemeneg BUMN.
Apa yang disampaikan Menteri Erick Thohir ini sebenarnya nerupakan penguatan terhadap sesuatu yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tahun lalu.
Presiden Jokowi menilai dari 30 bandara internasional di Indonesia, hanya 8 bandara yang berpotensi menjadi hub dan super hub, yakni Ngurah Rai (Denpasar), Soekarno-Hatta (Cengkareng), Kualanamu (Medan), Yogyakarta, Juanda (Surabaya) Balikpapan, Hasanuddin (Makassar), dan Sam Ratulangi (Manado).
Selebihnya berperan sebagai bandara pengumpan sehingga berdampak positif terhadap ekosistem pariwisata di mana penerbangan menjadi salah satu unsur vital di dalamnya.
Pengurangan jumlah bandara internasional tentu langkah strategis yang tidak hanya didorong oleh kepentingan komersial dan ekonomis.
Pandemi Covid-19 yang berdampak signifkan pada penurunan revenue industri aviasi ibarat alarm yang memberikan sinyal bahwa jumlah bandara internasional di Indonesia perlu direvisi.
Kondisi ini tentunya harus disikapi secara rasional yang sangat mungkin merevisi kebijakan yang diambil sebelumnya.
Dengan membatasi jumlah bandara internasional, pengawasan terhadap keluar masuk orang asing semakin terfokus.
Artinya, kedaulatan negara benar-benar tercermin dari lembaga yang mengawasi lalu lintas orang asing ini. Penegakan wibawa negara perlu diperlihatkan secara nyata, jelas, dan elegan di mata internasional.
Hal ini dapat diwujudkan di bandar udara yang secara geografis, jumlah maskapai yang dilayani, intensitas keluar masuk orang asing memang sesuai dengan gambaran internasional itu sendiri.
Kondisi ini hanya terjadi di 8 bandar udara internasional yang disebutkan di atas. Di luar 8 bandara tadi, kondisi tentu jauh berbeda.
Selain masalah kedaulatan negara, aspek lain yang tidak kalah penting adalah kontrol terhadap penerbangan domestik.
Sebagai negara berdaulat, kita wajib memastikan bahwa penerbangan domestik dikontrol oleh maskapai nasional, baik maskapai milik negara maupun swasta.