Sepanjang tidak melanggar konstitusi dan undang-undang, Presiden bisa melakukan apa pun sesuai kehendaknya.
Termasuk dalam memilih Panglima TNI. Ketika nanti Jokowi memilih Panglima TNI bukan dari matra laut, tidak otomatis dianggap melanggar undang-undang. Bergiliran tidak harus per periode.
Apalagi Panglima TNI adalah jabatan politis. Indikatornya, seorang calon Panglima TNI harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI.
Kalau DPR RI menolak, tak bisa dia menjadi Panglima TNI.
Ini sesuai amanat Pasal 13 ayat (2), (5) dan (7) UU TNI. Urusan apa pun, kalau sudah masuk ranah DPR RI, tak bisa dilepaskan dari nuansa politik.
Selain itu, dalam memilih orang kepercayaannya, ada pertimbangan kenyamanan.
Jokowi pun akan memilih Panglima TNI yang dapat memberikan dia kenyamanan.
Faktor utama kenyamanan adalah trust (kepercayaan) dan kedekatan psikologis, di samping kemampuan menerjemahkan visi, misi dan program Jokowi.
Di sini akan terjadi chemistry (kesenyawaan).
Alhasil, spekulasi tentang siapa Panglima TNI yang baru tampaknya sudah saatnya diakhiri.
Presiden Jokowi sudah menyampaikan isyarat (langit) tentang pilihannya: Andika Perkasa. Apa pun pertimbangannya, itu hak prerogratif Presiden, dan tidak otomatis dimaknai melanggar UU TNI.
Tapi bila ternyata Jokowi memilih Yudo Margono, itu pun akan lebih baik, demi keadilan antar-matra.
Bila akhirnya Jokowi memilih Fadjar Prasetyo atau bahkan Dudung Abdurachman, itu juga tak dilarang, karena itu hak prerogratif Presiden.
*Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.