Kiai Said vs Gus Yahya di Muktamar NU, Inilah Solusi Menghindari Konflik di Level Tanfidziyah
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Dinamika dan dialektika adalah sifat bawaan manusia, apalagi menyangkut kekuasaan. Dialektika bisa dihilangkan, tetapi caranya sangat sulit, tepatnya ketika mencapai sintesa bersama. Muktamar dan Pemilihan Ketua Umum merupakan arena akumulasi dialektika dan dinamika kekuasaan internal yang sulit diatasi, dengan harapan meraih sintesa atau harmoni.
Namun, manusia bukan malaikat yang hidup tanpa persoalan, masalah, ujian, serta keberhasilan dan kegagalan. Manusia diberi akal kecerdasan, yang bila dipakai dengan baik, maka ia melebihi malaikat. Bila tidak digunakan, ia jatuh lebih buruk dari iblis dan binatang. Akal itu sendiri, dalam mazhab Asy’ariah, berupa ikhtiar di bawah naungan wahyu.
Wahyu dalam al-Quran mengajarkan rahmatan lil alamin. Kasih sayang atas semesta. Akal yang terbimbing wahyu berarti ikhtiar manusia menuju rahmatan lil alamin. PBNU, dengan begitu, dapat berikhtiar menjadikan Muktamar ke-34 sebagai jembatan menuju rahmatan lil alamin. Tentu dengan memberi tempat bagi dinamika dan dialektika internal saat pemilihan ketua umum nanti.
Jika merenungi perkembangan muktakhir, dialektika antara kubu pendukung Kiai Sa’id Aqil dan Gus Yahya, terlihat sangat dinamis. Itu alamiah, lazim, lumrah, sebagai bagian dari dialektika manusia meraih mimpi. Dan tidak perlu surut, sebaliknya tetaplah pertahankan agar dinamika ini tetap membara sampai Muktamar mendatang. Hanya saja, mari sepakati cara penempatannya.
Pertama-tama, berdialektika menjelang Muktamar, dengan membangun kubu yang saling konfrontatif, itu sah-sah saja. Tetapi, bila dialektika ini menciptakan konflik yang berkepanjangan, lalu Muktamar ke-34 ini hanya menyisakan perpecahan internal, maka itu tentu hal terburuk yang tak diinginkan siapapun. Jadi, sampai di sini, prinsip rahmatan lil alamin tidak mungkin kita tukar dengan kepentingan sesaat, soal kalah-menang dalam perebutan kekuasaan di tingkat internal organisasi.
Kelak bila Muktamar telah berakhir dan Ketua Umum Tanfidziyah sudah dilantik, maka tidak perlu ada lagi 'duri dalam daging'. Siapa yang kalah harus qana’ah, lapang dada, menerima kekalahan. Masih ada Muktamar berikutnya untuk kembali bertarung. Pihak yang menang juga harus merangkul pihak yang kalah. Sehingga paska Muktamar, semua pihak kembali harmoni. Inilah yang kita mau bersama.
Kedua, mempertemukan Kiai Sa’id versus Gus Yahya di ajang perebutan kursi kekuasaan Ketua Umum/Tanfidziyah adalah strategi yang tidak menguntungkan, sekalipun untuk meningkatkan bakat kepemimpinan dua kader terbaik NU itu. Mau tidak mau, harus diakui, kelompok muhibbin Kiai Sa’id sangat kuat, di samping pengalaman dan kealiman personal figur Kiai Sa’id yang juga sangat mumpuni. Ranah Tanfidziyah bagaikan “kandang” bagi Kiai Sa’id.
Memaksakan Gus Yahya versus Kiai Said untuk jabatan Tanffidziyah serupa “laga tandang” bagi Gus Yahya, dan “laga kandang” bagi Kiai Said. Seberapa besar kekuatan dan peluang menang bagi tim tandang, bagaimana pun tim kandang selalu punya kredit poin dan bisa jadi faktor X kemenangannya.
Namun, menghindari perjumpaan Gus Yahya dan Kiai Sa’id di arena tersebut bukan tidak mungkin. Nahdliyyin masih memiliki “kartu hole”, yaitu keberadaan kiai-kiai sepuh, yang kekuasaannya melampaui otoritas demokratis. Kiai-kiai sepuh yang bertindak atas pertimbangan ilahiah, bukan akal rasional, bisa mengubah jalannya permainan.
Kiai-kiai sepuh bila mampu menggerakkan mekanisme musyawarah mufakat, lalu menarik satu calon ke tingkat Syuriah, maka aktor pertempuran di level Tanfidziyah akan berkurang. Misalnya, Kiai Sa’id diberi amanah oleh Kiai Sepuh untuk mengisi posisi Rois ‘Amm dan Gus Yahya untuk Ketua Umum, maka pola Kiai Sa’id vis-à-vis Gus Yahya akan berakhir.
Tentu saja permasalahan dan konflik interest belum usai. Setelah Kiai Sa’id ditarik ke Syuriah, untuk tidak ikut andil di Tanfidziyah, di sana masih ada figur lain seperti Kiai Miftachul Akhyar. Dengan premis bahwa PWNU Jatim berkeinginan Kiai Akhyar menjadi Rois ‘Amm. Tentu saja, hasrat dan ambisi semua pihak harus dipenuhi.
Warga Nahdliyyin awam tidak perlu repot-repot mengurusi mekanisme pemilihan Rois ‘Amm, terutama bila terpaksa Kiai Sa’id versus Kiai Akhyar. Warga Nahdliyyin awam hanya perlu memastikan arena pertarungan merebut posisi Ketua Umum tidak ‘berdarah’. Ini mungkin terjadi, karena Tanfidziyah adalah level manusiawi, beda dengan Syuriah yang ilahiah.
Dengan menarik Kiai Sa’id ke Syuriah, setidaknya urusan Tanfidziyah sudah relatif reda untuk sementara. Selanjutnya tinggal bagaimana kiai-kiai sepuh “mengunduh” wahyu ilahiah untuk menentukan siapa yang layak jadi Rois ‘Amm, apakah Kiai Sa’id Aqil Siradj ataukah Kiai Miftachul Akhyar. Ranah istikharah kiai sepuh ini di luar jangkauan nalar publik.
Tentu saja kiai-kiai sepuh ini adalah manusia biasa. Karenanya, kubu-kubu pendukung Kiai Sa’id dan Kiai Akhyar boleh memberikan bisikan-bisikan kepada mereka. Sebab, bisikan-bisikan macam itu bernilai sebagai prasyarat, dan keputusan akhir adalah ilham ilahiah. Dan kekalahan kubu pendukung Kiai Sa’id maupun Kiai Akhyar di ranah Syuriah takkan punya alasan rasional, bila suatu hari nanti tidak puas.
Yang terpenting bagi warga Nahdliyyin sekarang ini adalah manajemen konflik, mengola dialektika antara tesis (Kiai Sa'id) dan anti-tesis (Gus Yahya) menuju harmoni. Jangan sampai ada celah sedikitpun bagi dialektika ini meledak menjadi permusuhan berkepanjangan. Apalagi, membuka ruang bagi argumen-argumen rasional yang dibuat-buat untuk memperburuk keadaan.
Penulis sendiri cukup khawatir, bila medan pertarungan kubu Kiai Said dan Gus Yahya berada di level Tanfidziyah, maka pihak yang kalah di kemudian hari akan memiliki celah dan kesempatan untuk membangun argumentasi rasional yang kuat, untuk membalas kekecewaan mereka. Sehingga Muktamar berakhir, tapi konflik berlanjut. Perjumpaan Kiai Sa’id dan Gus Yahya tidak boleh terjadi di medan Tanfidziyah.
Untuk itulah, perlu kiranya melapangkan jalan bagi Gus Yahya menjadi Ketua Umum. Dan pada saat yang sama, mengangkat Kiai Sa’id jadi Rois ‘Amm. Ini strategi yang perlu dicoba demi menghindari benturan keras di gelanggang Tanfidziyah. Strategi begini bergantung sepenuhnya pada kebijaksanaan kiai-kiai sepuh nantinya. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*