Oleh : Retnowati Abdulgani-Knapp *)
KITA sudah beberapa kali membaca dan menulis mengenai Konferensi Asia-Afrika atau Konferensi Bandung pada bulan April 1955.
Konsep konferensi awalnya dimulai sebagai bagaimana negara negara bekas penjajah bereaksi terhadap kolonialisme dan bagaimana membangun dunia di mana semua bangsa berdiri di pijakan yang sama.
Yang terpenting adalah bagaimana setiap negara harus bersikap untuk mencapai dunia yang damai.
Selama konferensi, salah satu diskusi terpanas adalah apakah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) harus diundang.
Oposisi datang dari negara-negara timur tengah karena mereka khawatir dengan ideologi komunisme RRT.
Pada akhirnya, panitia konferensi mengajukan pertanyaan:
“Jika RRT tidak diundang. Apa arti Asia?”
Kemudian RRT diundang. Meskipun pada awalnya RRT tidak terdaftar sebagai pembicara, namun pada menit-menit terakhir RRT memutuskan untuk berbicara.
Baca juga: Menko Airlangga Sambut Baik MoU Kerja Sama Ekonomi Digital dengan Republik Rakyat Tiongkok
Pada saat itu, delegasi RRT di ketuai oleh PM Zhou Enlai telah menunjukkan kemampuan diplomatiknya dengan sangat baik.
Tidak hanya menerima dengan bijaksana kecelakaan Putri Kashmir, pidato PM Zhou Enlai telah menjadi cara luar biasa untuk menunjukkan pandangan RRT dalam urusan dunia:
“Kami datang ke Bandung bukan untuk melihat keragaman kami, tetapi untuk mencari persatuan.”
Pernyataan ini tepat dan dapat diartikan sebagai salah satu pilar terpenting dalam kebijakan non-intervensi dalam masalah negara lain.
Sejak KAA/Konferensi Bandung, RRT mulai bergerak perlahan namun pasti untuk mendapatkan kembali posisinya dalam hubungan internasional.