Jika hewan-hewan lain mengeksploitasi dan beradaptasi terhadap lingkungannya dengan biologisnya, dengan raganya; maka manusia melakukan aktivitas ini terutama dengan kebudayaannya, jadi dengan cara-cara ekstrabiologis atau supraorganis.
Sebagian besar dari perjalanan sejarahnya manusia hidup sebagai peramu dan pemburu. Dimulai dari Australopithecus sp. ke Pithecanthropus (Homo) erectus hidup sebagai pemangsa (predator) dalam jaringan makanan dalam ekosistem alamiah.
Beberapa paleoantropolog mengajukan Sahelanthropus sp. sebagai percabangan transisi Bersama di antara kera dan manusia.
Karena anggota populasinya yang masih berjumlah sedikit dan tingkat kebudayaan yang masih relatif sederhana, akibat kerjanya terhadap lingkungan.
Jjadi terhadap proses metabolisme dan reproduksi yang mengatur sistem penunjang hayat di bumi ini – sangat sedikit, dan ekosistem dapat dengan cepat mengkompensasinya.
Jadi, aktivitas-aktivitas itu sangat sedikit pengaruhnya terhadap lingkungannya.
Mendekati Holosen, manusia purba dengan evolusi budayanya makin meningkat aktivitas eksploitasinya terhadap sumber-sumber lingkungannya.
Pengaruh aktivitas manusia kuno terhadap lingkungannya mulai bermakna dan berat pada taraf domestikasi dan pengembalaan hewan.
Pembakaran hutan untuk penggembalaan dan berburu serta merumput secara masif oleh hewan-hewan peliharaannya meninggalkan bekas-bekasnya pada ekosistem untuk beberapa lama.
Tetapi hidup mengembara tidak menimbulkan persoalan dalam pembuangan sampah dan kotoran, karena dengan cepat dapat diproses dan diedarkan kembali oleh ekosistem.
Revolusi Pertanian Awal Holosen
Revolusi pertanian di awal Holosen, kira-kira 10.000 tahun yang lalu, merupakan loncatan kuantum dalam evolusi manusia; di mana manusia makin mendominasi ekosistem dan menjinakkan lingkungannya.
Bahkan manusia seolah-olah berada di luar ekosistemnya, dan ekosistem alamiah diubah menjadi ekosistem manusia.
Pepohonan yang merupakan unsur dominan dalam ekosistem ini makin dilenyapkannya.