Api dan prinsip-prinsip Islam harus selalu "dinyalakan" tapi "abu" atau ekspresi corak budayanya, meminjam istilah Gus Dur harus "dipribumisasikan" dalam budaya khas Indonesia tentu dengan spirit berkemajuan.
Hal penting yang hendak digarisbawahi dari tulisan singkat ini selain menjelaskan proporsi keislaman Puan dan relasinya dengan NU dan Muhammadiyah di atas adalah bahwa penggunaan "politik identitas" dengan narasi-narasi keagamaan secara konfliktual sangat berbahaya dalam kontestasi politik.
Berpotensi merusak harmoni sosial dan sendi-sendi kebangsaan.
Ongkos sosialnya terlalu mahal bagi keindonesiaan yang beragam.
Di sinilah urgensi ormas-ormas Islam di Indonesia harus terlibat dan melibatkan diri meletakkan kekuatan moral agama dalam dinamika kontestasi politik dan mencegah agama menjadi alat "politik identitas" untuk menyerang pihak lain dalam persaingan politik.
Hanya dengan cara itulah kontestasi pilpres 2024 menjadi jalan mulia dan beradab dalam proses seleksi kepemimpinan politik dan tidak berbalik arah menjadi ajang caci maki dan ujaran kebencian dalam konteks tulisan ini.
Sekali lagi bukan sekadar merugikan Puan secara individual melainkan sebuah pertaruhan bagi keutuhan bangsa.
Tabik !!!
Wasaalam
Penulis adalah Wakil Sekretaris NU Jawa Barat (2010-2021).