"Kalau kita kaitkan misalnya visi Presiden mestinya tujuan perubahan undang-undang di bidang pendidikan itu harus ditujukan pada visi Presiden tentang pembangunan sumber daya manusia," terangnya.
Juri kemudian memaparkan Lima Visi Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin.
Pada periode kedua, visi yang pertama adalah pembangunan sumber daya manusia, bukan infrastruktur, karena infrastruktur itu prioritas pertama pada periode pertama.
Saat periode kedua visi infrastruktur berada pada urutan kedua. Visi ketiga itu deregulasi.
Jadi, tambah Juri, menata seluruh peraturan perundang-undangan yang membuat pengaturan pemerintahan kita complicated, yang keempat baru debirokratisasi-penataan birokrasi dan yang kelima adalah transformasi ekonomi.
Jadi sebetulnya, lanjut Juri, perubahan undang-undang pendidikan itu harus diarahkan pada dua tujuan visi presiden: yakni, bagaimana menjadi dasar, dan menjadi pegangan kita dalam membangun sumber daya manusia ke depan, kedua menata regulasi-regulasi yang selama ini bertebaran, tumpang tindih, membingungkan menjadi miskomunikasi bisa jadi misleading dalam bidang kebijakan pendidikan.
"Nah, yang ketiga problemnya adalah apakah Perubahan Undang-undang Sisdiknas menjadi RUU yang mengintegrasikan tiga undang-undang pendidikan menjawab persoalan yang selama ini melanda pendidikan atau justru menjadi persoalan baru."
"Subtansi yang terkandung dalam RUU ada beberapa yang menjadi titik kontroversi, hari ini kita mendiskusikan salah satu titik kontroversinya, di mana LPTK, lembaga yang selama ini mendidik para calon guru, tidak di-mention, tidak disebut di dalam RUU Sisdiknas."
"RUU tidak mention sama sekali LPTK. Kalau saya membaca ini, sebenarnya ini satu upaya sistemik, kalau kita boleh bilang untuk meniadakan LPTK di dalam praktik pendidikan kita," ungkap Ketum IKA UNJ, yang juga menjabat Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.
Juri kemudian mengajukan indikasinya, yaitu pertama adalah perubahan IKIP menjadi universitas, menurutnya itu satu perubahan revolusioner.
Yang kedua, untuk menjadi guru, lulusan sarjana dari LPTK tetap harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Jadi tidak ada bedanya antara lulusan LPTK/IKIP dengan yang lulusan non LPTK atau lulusan sarjana pendidikan dengan sarjana umum untuk menjadi guru sama-sama harus melalui PPG.
Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa LPTK itu sudah habis. Kedua, RUU yang sedang dibahas tidak ada unsur atau klausul tentang LPTK.
"Jadi sebenarnya Pak, kalau kita boleh bicara terus terang, LPTK sudah tidak ada. Lalu untuk apa perguruan tinggi masih memiliki prodi-prodi pendidikan. Tentu ini akan menjadi masalah lebih besar terutama nasib para mahasiswa yang masih mengambil program pendidikan, dan juga dosen-dosen prodi pendidikan, serta yang lain," ungkap alumni LPTK peraih gelar doktor filsafat dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini.
Setelah memaparkan pandangan kritisnya atas RUU Sisdiknas, Juri kemudian mengajak para narasumber yang mewakili organisasi alumni universitas eks kampus LPTK Negeri, dan para pakar ilmu pendidikan yang hadir.