News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polisi Tembak Polisi

Putri Candrawathi dan Nasib Dewi Shinta dalam Kisah Ramayana

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Putri Candrawathi dan foto ilustrasi Dewi Shinta dalam Kisah Ramayana.

Padahal Polri sudah memutuskan tidak ada tindak pidana pelecehan seksual itu.

Mungkin Putri merasa sudah terlanjur terbakar sehingga langsung saja menceburkan diri ke kobaran api dengan menjadi tersangka.

Kemungkinan lain, dia tahu polisi sudah mengantongi bukti-bukti kuat dugaan keterlibatannya sehingga mengelak pun akan percuma.

Lagi pula, andaikata isu kedekatan khusus dengan J itu benar, lalu siapa yang mau dia bela, toh J sudah meninggal dunia.

Lebih baik ia menempuh jalan Sinta.

Terlepas dia pernah disentuh atau bahkan dijamah J atau tidak, masih suci atau tidak, Putri kini mau membuktikan kesetiannya kepada Sambo. Dia tidak mau menjadi "justice collaborator" yang bisa memberatkan suami tercintanya itu.

Kehormatan diri dan keluarga adalah segala-galanya, mungkin demikian batin Putri.

Biarlah isu kedekatan khusus dengan J itu menguap seiring waktu, yang jelas di titik kulminasi perkara pembunuhan J, Putri telah membuktikan kesetiaannya kepada Sambo.

Putri telah menempuh jalan Shinta, meski jelas posisinya tidak bisa disejajarkan dengan Shinta, karena Shinta tidak disangka terlibat kejahatan, dan posisi Sambo pun tidak bisa disejajarkan dengan Rama yang terpaksa membunuh Rahwana karena Raja Alengka itu menculik Sinta, istrinya.

Putri menempuh jalan Shinta itu karena terpaksa atau tidak, biarlah itu menjadi rahasianya.

Yang pasti, Putri "swarga nunut, neraka katut" (ke surga ikut, ke neraka terseret) kepada suamimya.

"Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama,“ adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi...,”

Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun lamanya, kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya.”

Sita yang hamil itu tetap diam: pesona. “Tetapi, si Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah ...”

Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa.

(Benih, puisi karya Sapardi Djoko Damono, 1981).

* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media Tinggal di Jakarta

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini