Pertama, Politik inklusi untuk memperkuat kapasitas fiskal APBN, utamanya yang berpihak pada ekonomi lemah dan UMKM. Artinya, perlu penguatan moralitas keberpihakan Pemerintah dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan fungsi-fungsi turunannya.
Fungsi-fungsi turunan ini mencakup: 1). Fungsi menjaga stabilitas perekonomian negara; 2). Fungsi distribusi dan pemerataan pembangunan; 3). Fungsi instrumen pengambilan kebijakan di bidang ekonomi; 4). Fungsi pengalokasian sumber daya enonomi; 5). Fungsi akselerasi pertumbuhan perekonomian nasional; 6). Fungsi penyediaan kesempatan kerja bagi rakyat, dst.
Desentralisasi fiskal yang dinilai dapat mengurangi disparitas atau kesenjangan antar daerah juga mutlak dilakukan oleh pemerintah.
Di sinilah instrumen penting dalam upaya menghindari ketidakefektifan dan ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan ekonomi makro, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, desentralisasi fiskal juga dinilai dapat mendorong pemerintah merumuskan RAPBN yang lebih menekankan pada aspek kemandirian, seperti mencegah ketergantungan pada pendanaan pihak asing. (hal. 101-103).
Kedua, Politik pemerataan dan keadilan melalui reforma agraria, hilirisasi agro maritim, kedaulatan pangan, penguatan desa dan kawasan-kawasan tertinggal.
Berbagai persoalan yang dinilai akut tersebut, menurut Gus Muhaimin perlu menjadi prioritas perhatian bagi semua anak bangsa, terutama pemimpin negara.
Reforma agraria, misalnya masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup pelik lantaran Indonesia adalah negara agraris yang sangat besar. Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber pangan dunia jika pembaharuan reforma agraria mampu diimplementasikan dengan baik.
Visinya ke depan ialah mereka yang kaya memiliki lahan yang besar, yang miskin petani gurem yang tidak memiliki lahan menjadi bagian yang utuh dan bersatu dalam melahirkan Indonesia yang mandiri, berkontribusi bagi dunia melalui kebutuhan suplai pangan.
Gus Muhaimin berpandangan, "political will" pemerintah untuk melakukan langkah strategis dan menyeluruh menjadi solusi menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, mulai dari pentingnya reforma agraria, hilirisasi agro maritim, kedaulatan pangan, penguatan desa hingga kawasan-kawasan tertinggal di Indonesia.
Ketiga, Politik hijau dengan menciptakan keadilan ekologi dalam pembangunan.
Sebagai darah biru NU, Gus Muhaimin jelas memiliki pandangan politik hijau khas santri. Baginya, politik hijau tak hanya berkomitmen untuk pemerataan ekonomi semata, namun sekaligus berjuang menyelamatkan lingkungan hidup, mengatasi perubahan iklim, dan memastikan keadilan dan kebersinambungan antar generasi.
Gerakan Green Recovery dan Ekonomi Hijau di masa pasca pandemi covid-19 khususnya, menjadi momentum untuk melakukan upaya bersama pemulihan hijau yang memprioritaskan model pembangunan berkelanjutan, yakni paradigma pembangunan yang menjamin adanya pertumbuhan ekonomi, keterjagaan lingkungan, dan ketahanan sosial sebagai satu tarikan nafas pelaksanaan pembangunan. (hal. 180).
Hanya dengan politik hijau, Indonesia akan mampu mempercepat target-target penurunan emisi sesuai "Perjanjian Paris".