Pemilu hendaknya menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat dalam semangat persatuan, bukan justru memecah belah persatuan bangsa.
Dalam era demokrasi modern, pemilu merupakan instrumen rakyat memilih pemimpin secara langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil. Negara Indonesia telah memilih sistem demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial sesuai dengan Pancasila.
Dengan tidak bermaksud mengurangi bobot nilai sila-sila lain dalam Pancasila, mungkin tidak berlebihan kalau disebutkan sila “Persatuan Indonesia” mempunyai corak yang lebih heroik dibanding dengan sila-sila lainnya.
Para pendiri negara yang pada waktu itu merasakan betapa pedihnya menjadi bangsa yang terjajah, dengan bebagai ungkapan, mereka menggelorakan semangat untuk bersatu.
Mewakili suasana kebatinan terhadap persatuan, Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 berkumandang sebagai berikut: “Kita hendak mendirikan negara “semua untuk semua”. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar yang pertama: Kebangsaan Indonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi satu nationale staat”.
Benih-benih nilai yang terkandung dalam semangat persatuan dimaksudkan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belengggu penjajah. Pada masa depan, diproyeksikan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
The last but not least, kepemimpinan Bung Karno ini sangat luar biasa. Terbukti membawa Indonesia merdeka dan diakui dunia. Bahkan, membebaskan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang terjajah: Aljazair, Maroko, Tunia, Sudan.
Maka Bung Karno disebut pendekar dan pembebas bangsa Islam. Nah, kepemimpinan dengan kehebatan diplomasi dan strategis ini tidak datang dari langit. Tapi melalui suatu proses intelektual dan kerja keras.
Bung Karno sejak muda sudah indekos di rumah HOS Tjokroaminoto. Sekalipun dalam pembuangan, Bung Karno tetap belajar sembari mengenal bangsa Indonesia dengan berbagai budayanya.
Jadi paduan antara proses tempaan (formasi) intelektual, perjuangan (aktivis) yang turun ke bawah dan kecintaan pada rakyat (bangsa Indonesia). Itulah yang melahirkan kepemimpinan negarawan Bung Karno.
Jadi milenial mari sejenak berpikir untuk bangsa, untuk negara. Sekali-sekali boleh lah menikmati hidup, tapi jangan lupa melek politik, tekun dalam belajar, aktif berorganisasi.
Kalau liburan sempatkan jalan-jalan ke pulau-pulau Indonesia, Sabang sampai Merauke supaya lebih mengenal budaya Nusantara.
Mari kita bangkitkan rasa cinta tanah air dengan segala kekayaannya; dengan identitas nusantaranya bukan dengan budaya asing.
Nasionalisme dibangun dengan kondisi kekinian. Selain itu, nasionalisme, rasa cinta tanah air ini mesti dipadu dengan daya kritis dan kekuataan intelektual dalam kepemimpinan nasional. Orang muda harus menggembleng diri sejak sekarang supaya mampu menjadi pemimpin di masa depan. Pegangan kita jelas, yakni Pancasila dan NKRI.
Tantangan kita sebagai bangsa sangat serius. Bukan soal retorika, tapi ini riil. Indonesia ini sangat kaya, saya sudah keliling Indonesia mulai dari Aceh sampai Papua. Bahkan bukan main kekayaan alam kita ini. Tapi ingat dibalik sumber daya nasional ini ada kerentanan strategis.
Negara-negara Barat sejak dulu jelas mengincar kita. Berbagai strategi, termasuk future war dengan teknologi dan proxy perlu diwaspadai. Termasuk ancaman radikalisme. Ancaman-ancaman tersebut serius. Soal masa depan sebagai bangsa, ancaman pulau-pulai terpecah juga riil. Pertarungan ini adalah nyata, dan kita generasi milenial harus siap menajdi garda terdepan penjaga NKRI dari “penjajahan” asing.
Di sinilah prinsip ideologis menjadi penting termasuk dengan segala nilainya, marhaenisme dan gotong royong. Merdeka!!!