Akhirnya apa? Maka lahirlah ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul Halim Majalengka. Jadi PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber NU-nya.
Padahal, jika kesadaran berpolitik itu sinergis dengan kesadaran ber-jam’iyyah dan berjama’ah, maka kekuatan NU dan partai yang menjadi alat politiknya akan jauh lebih powerful dalam memperjuangkan kemaslahatan publik.
Bukti yang paling konkret telah dicontohkan oleh Wali Songo. Dengan kekuasaan politik di tangannya, Sunan Gunung Jati mampu menciptakan perubahan pembangunan lebih masif, lebih total, dan lebih cepat.
Kemaslahatan publik yang dihadirkan jauh lebih aktual dan jauh lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat di tingat riil. Mulai dari sistem perdagagan, fasilitas pelabuhan, jalan raya, pemerintahan, pendidikan, dan seterusnya dan seterusnya.
Berdakwah tanpa politik kekuasaan memang tetap baik, tetapi kalau bicara dari aspek kecepatan, kedahsyatan,dan kemenyuluruhan, tentu tidak bisa mengalahkan dakwah yang didukung dengan politik kekuasaan. Karena itu, “Ngaku NU Wajib Ber-PKB”.
Sekali lagi, warga NU perlu menyadari bahwa realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk pesantren dan NU. Nahdliyin berhutang banyak pada PKB.
Karena itu, saya heran jika ada yang mengaku NU, apalagi mengaku cinta Gus Dur (gusdurian) yang tidak peduli PKB, lebih-lebih membencinya. Padahal Gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan politik warga NU.
Saya terkadang membayangkan, jika warga NU yang konon berjumlah 80 juta itu, 30 persen- nya saja sadar politik dengan ber PKB, tentu PKB akan menjadi pemenang pemilu di 2024. Dan itu akan menjadi kemenangan Nahdliyin.
Tapi sejumlah pihak menyampaikan ke saya. Kata mereka, sangat mungkin kesadaran politik itu tidak disenangi oleh banyak pihak. Ada pihak-pihak yang tidak ingin kekuatan NU-PKB menjelma menjadi penggerak yang powerful.
Ada pihak yang berupaya memisahkan NU dengan kendaraan politiknya (PKB). Contohnya dengan berupaya mencairkan politik warga NU menjadi multi partai (bebas partai apa saja).
Apa tujuannya kalau bukan untuk melemahkan kekuatan partai politik milik NU. Jika ini benar terjadi, tentu ini lampu kuning bagi seluruh pecinta NU agar secepatnya kembali ke pangkuan PKB.
Jadi, “Ngaku NU Wajib Ber-PKB”.
* Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_