Sayangnya, perilaku pengurus elite Tanfidziah yang "bermuka dua" maupun penegasan logika dan mentalitas pencari jatah oleh elite Syuriah semacam ini harus berhadapan dengan publik Indonesia yang semakin cerdas dan kritis. Sudah tidak ada yang bisa banyak disembunyikan melalui retorika, karena isyarat-isyarat itu begitu nyata. Istilah orang pesantren, retorika PBNU sudah muhkamat, bukan mutasybihat lagi.
Karena itulah, dari pada bermain retorika, Amin Mudzakir menyarankan agar mampu memahami perbedaan antara pro-negara dan pro-kekuasaan. Substansi pernyataan "orang NU tidak pernah menurunkan pemimpin di tengah jalan" harus dimaknai dalam konteks kenegaraan, bukan pemerintahan. Jika dipahami dalam konteks kenegaraan maka akan produktif. NU pembela NKRI garda terdepan. Namun jika dalam konteks pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, NU malah menjadi pembela terdepan oligarki.
Jalan Keluar
Amin Mudzakir menyarankan, apabila PBNU memang berniat sungguh-sungguh membela warganya yang bagian dari "mustadh'afin, fuqara', dan masakin" maka sejak dini semestunya pengkaderan NU seperti "PKPNU" idealnya diajarkan materi kapitalisme neoliberal, oligarki, intoleransi ekonomi dan lainnya. Tidak seperti PKPNU yang terjadi hari ini, sekedar berisi Halu terkait isu radikal-radikul dan Intoleransi Beragama, padahal hari ini yang paling membahayakan kita warga Nahdiyyn dan membahayakan keutuhan NKRI adalah intoleransi Ekonomi yang sudah mengakar dan menyengsarakan anak bangsa ini.
Hanya dengan cara itu, kader-kader muda NU akan memiliki kritisisme atas kapitalisme neoliberal dan oligarki yang merugikan rakyat kecil umumnya
Jika tidak ada materi pembelajaran semacam itu, maka bukan saja warga NU yang gagal paham cara melakukan perjuangan ekonomi politik. Bahkan, Kiai Miftachul Akhyar sendiri gagal paham. Misalnya, di satu sisi ingin mengembangkan ekonomi rakyat kecil, disaat yang sama ingin mendapatkan tetesan/jatah atau berkah dari 18 Naga. Kontradiktif bukan?
Memang semua solusi harus sama-sama dijalankan. Pengkaderan yang kritis harus dilakukan. Tetapi, perjuangan melalui jalur politik adalah jalan paling efektif. Sebab, kemiskinan bukan semata-mata alamiah melainkan sering bersifat struktural, karena adanya pemiskinan. Kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang berkuasa lebih memihak segelintir oligark daripada rakyat banyak.
Jika sudah menyangkut urusan pemiskinan, bukan kemiskinan, maka satu-satunya cara harus ditempuh oleh NU adalah jalur kekuasaan. Sejauh apapun pengkaderan tanpa diiringi kekuasaan hanya akan menjadi suara sumbang di luar sistem yang berlaku. Untuk menuju kekuasaan yang pro-rakyat, anti-oligarki, dan menghapus intoleransi ekonomi, maka NU butuh PKB; satu-satunya partai politik yang dilahirkan NU sendiri.
Menyatukan NU dan PKB adalah langkah strategis menciptakan kebijakan pemerintah yang ideal. Poin lebihnya, berkolaborasi dengan PKB jauh lebih elegan bagi NU daripada menjadi pengemis, yang meminta-minta, dan menunggu berkah dari 18 Naga.
Sampai di sini, satu-satunya pilihan yang paling efektif bagi NU adalah menyalurkan aspirasi politiknya melalui PKB; bukan melalui 18 Naga, apalagi melalui pemerintah yang membiarkan secara sengaja ada 18 orang menguasai 82% ekonomi nasional.
PKB tinggal menunggu niat baik PBNU, PKB siap menjadi penampung aspirasi politik Nahdliyin, jika memang serius membela rakyat kecil dan serius mengangkat harkat martabat warga NU sebagai mustadh'afin, fuqara', dan masakin. PKB harus dimaksimalkan fungsinya oleh NU, demi merebut kekuasan dan memastikan warga NU sebagai subyek perubahan.
Mengubah nasib warga NU hanya akan terjadi efektif melalui jalur kekuasaan, yaitu NU melalui PKB memantapkan satu visi dalam cita-cita yang sama. Bahkan, bisa dikatakan, persatuan NU-PKB adalah amanah Masyaikh NU, dan ke depan NU-PKB turut serta dalam mengecilkan peran oligarki dan mengakhiri era intoleransi ekonomi. Sungguh ini lebih elegan dan bermartabat dari pada berharap berkah 18 Naga menetes pada warga NU.[]
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.