Belum lagi kita melihat sejarah Jong Sumatranen Bond, yang didirikan pada 1917 di Jakarta.
Tidak lama kemudian, para pemuda Batak memilih keluar, dengan alasan yang juga sifatnya fanatisme kesukuan.
Menurut pemuda-pemudi Batak, Jong Sumatra hanya didominasi oleh orang-orang Minangkabau.
Jika bukan fanatisme kesukuan, maka fanatisme keagamaan yang muncul.
Misalnya, Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada 1905 di Surakarta sejak awal berniat melawan penduduk pribumi "China", yang kebetulan mendominasi perdagangan nasional.
Tidak bertahan lama, SDI yang berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) pun mengalami perpecahan internal di tahun 1923 saat Kongres Madiun.
SI "Merah" beraliran komunisme dipimpin oleh Semaoen, dan SI "Putih" dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang beraliran Islamisme.
Fanatisme keagamaan ini memang berdampak besar pada keterbelahan umat muslim.
Selain Al-Irsyad, Muhammadiyah, SI, dan nantinya NU di tahun 1926, masih banyak ormas-ormas keagamaan berhaluan Islam lainnya, seperti Mathla'ul Anwar (1916), Persatuan Islam (1923), Al-Washliyah (1930), Al-Khairat (1930), Masyumi (1937), serta lainnya.
Dalam konteks semacam itu, perpecahan tidak bisa disebut sebagai "rahmat", sebagaimana pepatah ulama: "ikhtilafu ummati rahmatun" (perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat).
Sebab, memang terbukti, tidak adanya persatuan umat muslim maupun seluruh bangsa adalah akar usia panjang kolonialisme.
Sampai Kapan Perpecahan ini?
Perpecahan memporak-porandakan umat muslim dan bangsa Indonesia umumnya.
Perpecahan tidak saja melanggengkan kolonialisme, tetapi juga menyebabkan upaya-upaya mengisi kemerdekaan menjadi terhambat.
Perhatikan sejarah Orde Lama dan Orde Baru.