Faktor Rendahnya Tingkat Partisipasi Penyandang Disabilitas
Dengan berbagai keterbatasan fisik, sarana penunjang yang ada, serta mekanisme penyelenggaraan Pemilu yang berlangsung selama ini, warga masyarakat berkebutuhan khusus (penyandang disabilitas) sangat berpotensi kehilangan atau tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu. Faktor-faktor tersebut antara lain lemahnya sistem pendataan, kurangnya pendidikan politik, kurang maksimalnya pendampingan keluarga dan komunitas, kurangnya media komunikasi sosial, serta rendahnya aksesibilitas penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu.
Lemahnya sistem pendataan penyandang disabilitas sebagai pemilih dalam Pemilu, antara lain disebabkan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) pada saat melaksanakan pencocokan dan penelitian (Coklit) hanya mencocokan antara Formulir Model A-Daftar Pemilih dengan KTP-el dan atau pengakuan keluarga. Seharusnya, Pantarlih ketika melaksanakan Coklit pada setiap keluarga, menggunakan data kependudukan yang terdapat dalam Kartu Keluarga (KK). Sebab ada kecenderungan, karena merasa malu, pihak keluarga akan menutupi atau tidak mengizinkan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas ditemui atau didata oleh Pantarlih. Atau dapat juga diduga, anggota keluarga penyandang disabilitas tidak dibantu oleh pihak keluarga untuk mendapatkan KTP-el.
Kelemahan lainnya dalam pendataan hak pilih bagi penyandang disabilitas adalah tidak dicantumkannya keterangan jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditempel di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan tidak dicantumkannya jenis disabilitas yang disandang oleh pemilih, maka penyiapan sarana pemungutan suara dan jenis pelayanan khusus yang akan diberikan kepada pemilih penyandang disabilitas tidak dapat dilakukan dengan optimal.
Rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu juga disebabkan oleh lemahnya pendampingan keluarga dan peran komunitas yang menguatkan posisi dan kesetaraan hak politik mereka. Di samping itu, media komunikasi sosial dan pendidikan politik bagi penyandang disabilitas dinilai masih sangat kurang.
Tidak dapat dipungkiri, rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu disebabkan oleh lemahnya mekanisme dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas terhadap proses Pemilu itu sendiri. Aksesibilitas adalah segala sarana dan kemudahan yang disediakan oleh penyelenggara Pemilu bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan keadilan dan kesamaan kesempatan dalam proses Pemilu.
Aksesibilitas sangat diperlukaan untuk memudahkan penyandang disabilitas untuk terlibat dan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Lemahnya mekanisme dan aksesibilitas penyandang disabilitas dalam Pemilu antara lain jauhnya jarak dan tidak ramahnya kondisi TPS, meja dan bilik suara terlalu tinggi dan sempit, surat suara susah dikenali, tidak ada alokasi waktu khusus untuk dilayani atau datang ke TPS, serta kurangnya dukungan keluarga dan komunitas untuk antar-jemput dan pendampingan bagi penyandang disabilitas.
Meningkatkan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu
Sesungguhnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam proses Pemilu adalah hak dasar yang harus diberikan negara kepada mereka. Jangan sampai penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat yang terlupakan atau terabaikan dalam pesta demokrasi di Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas ini tercantum dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Pasal 41 undang-undang ini antara lain disebutkan: “Setiap penyandang disabilitas, Lansia, dan wanita hamil berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus”.
Jaminan aksesibilitas secara lebih khusus terdapat pada Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang berbunyi: “Hak aksesibilitas untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik, dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.”
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu inklusif adalah dengan cara meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya pada Pemilu. Beberapa gagasan inovatif untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam Pemilu antara lain sebagai berikut.
1. Penguatan peran keluarga dan komunitas agar penyandang disabilitas dibantu untuk mendapatkan KTP-el. Penyandang disabilitas perlu berkomunitas dalam paguyuban-paguyuban untuk bersosialisasi, bertukar informasi, dan saling menguatkan dalam rangka kesamaan haknya sebagai warga negara.
2. Peningkatan akurasi pendataan penyandang disabilitas sebagai pemilih berdasarkan Kartu Keluarga dan penelusuran lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan tidak ada satu warga negara pun yang memiliki hak pilih kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu. Pantarlih harus menambahkan keterangan jenis disabilitas atau keterbatan tertentu yang disandang oleh penyandang disabilitas dan Lansia dalam DPT. Dengan cara ini, maka penyiapan sarana pemungutan suara dan jenis pelayanan khusus yang akan diberikan penyelenggara Pemilu kepada pemilih penyandang disabilitas di setiap TPS dapat dilakukan dengan optimal.
3. Perlu dikembangkan cara sosialisasi dan pendidikan politik yang efektif bagi penyandang disabilitas. Selain berbasis keluarga dan komunitas, perlu dikembangkan aplikasi atau media komunikasi sosial tentang Pemilu yang ramah dan mudah diakses bagi penyandang disabilitas.