Sebut saja misalnya salah satu mantan gubernur di Jawa.
Meskipun dia divonis bersalah oleh pengadilan dalam kasus korupsi, tapi keluarganya yang maju sebagai calon pejabat publik, entah di eksekutif atau legislatif, banyak yang terpilih.
Artinya, masyarakat tidak terlalu peduli dengan kasus-kasus korupsi, karena mungkin mereka tidak merasa dirugikan secara langsung.
Kedua, masyarakat dan negara ini permisif terhadap koruptor.
Lihat saja mereka yang pernah menjalani hukuman di penjara, setelah keluar langsung dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.
Buktinya, mereka tidak sungkan-sungkan tampil dan berbicara di depan publik sebagai elite politik.
Andi Mallarangeng, M Romahurmuziy dan Anas Urbaningrum, contohnya
Adapun negara tidak melarang sama sekali koruptor untuk maju sebagai calon pejabat publik baik di eksekutif maupun legislatif asalkan masa pencabutan hak politik mereka sudah habis.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 49 mantan narapidana korupsi yang masuk Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Jumlah ini terdiri atas 22 caleg DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan 27 caleg DPR RI.
Jika terpilih nanti, bisa jadi mereka akan berlagak sebagai pahlawan, dan dalam membuat regulasi pun akan berpihak pada koruptor supaya dianggap sebagai pahlawan.
Hari ini, Kamis (4/1/2024), Pengadilan Tipikor Jakarta akan menjatuhkan vonis kepada Rafael Alun.
Apakah mantan pejabat pajak itu akan dihukum sesuai tuntutan JPU atau justru dibebaskan dari segala dakwaan, sehingga nanti akan benar-benar dianggap sebagai pahlawan? Kita tunggu saja tanggal mainnya.