News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Fakta-fakta Iran dan Potensi Serangan Langsung AS ke Negeri Mullah

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Inilah rudal yang ditembakkan oleh pasukan militer Iran ke Pangkalan AS di Irak.

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Presiden AS Joe Biden berikut semua perangkat eksekutif dan militernya menuduh Iran di balik tewasnya tiga tentara AS di Yordania.

Sebuah serangan drone bunuh diri pekan lalu menghantam pangkalan kecil AS di dekat tapal batas Yordania-Suriah.

Tuduhan Biden ini melahirkan spekulasi, militer AS cepat atau lambat akan membalas lewat serangan langsung ke wilayah negeri para mullah.

Atau cara lain pembalasan lewat serangan rahasia yang mengincar target penting tokoh Iran di dalam maupun di luar teritori Iran.

Contoh nyata sudah ditunjukkan era Presien Donald Trump saat drone pembunuh CIA dan Pentagon menewaskan Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad Irak, empat tahun lalu.  

Qassem Soleimani adalah pemimpin Brigade Al Quds Korps Garda Republik Islam Iran, yang mengendalikan semua operasi rahasia ekstrateritorial Iran.

Di tangan Qassem, pengaruh, jangkauan, dan mobilitas Iran jauh melampaui perbatasan. Kuku Iran menancap cukup kuat di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.

Lantas, apakah rencana pembalasan Washington terhadap Iran akan berjalan sesuai skenario? Apa dampaknya bagi kawasan?

Iran saat ini bukan lagi Iran 10, 20, atau 30 tahun lalu. Kekuatan militer dan penguasaan teknologi tempur mereka tak bisa diremehkan.

Bahkan kemampuan produk drone militer Iran diakui barat, dan Rusia secara baik memanfaatkannya dalam perang di Ukraina.

Begitu pula penguasaan sekaligus kepemilikan peluru kendali semua jarak, Iran sudah membuktikan bukan lagi kekuatan kaleng-kaleng.

Serangan balasan Iran atas kematian Qassem Soleimani jadi bukti, betapa presisinya rudal-rudal jarak jauh Iran yang menyasar target pangkalan AS di Erbil, Irak utara.  

Kematian tiga tentara AS di Yordania memang memberi tekanan kuat kepada Joe Biden jelang Pilpres AS 2024 ini. Mereka harus punya dalih untuk menyalahkan Iran.

Teheran tegas membantah ada hubungan dengan serangan mematikan tersebut, yang diduga dilakukan paramiliter Irak yang menginginkan AS diusir dari negara itu.

Biden dan para pendukungnya di Gedung Putih memiliki opsi menyerang Iran langsung karena risiko berat jika serangan diarahkan ke target di wilayah Irak.

Serangan itu akan meningkatkan sentiment negatif Irak, yang memang sudah tidak betah lagi kekuatan militer AS bercokol di negara itu.

Dalam konteks ini, seorang pakar politik kawasan di George Washington University, Prof Hossein Askari, menyebut serangan langsung AS ke Iran akan membuka kotak pandora.

Joe Biden jelas ada di posisi sangat sulit saat ini. Apapun yang dilakukannya akan memantik kritik, baik langkah keras maupun lunak terhadap Iran.

Berdiam diri akan mendatangkan tuduhan lawan politiknya dia dianggap terlalu lemah. Mengambil jalan kekerasan dia akan dianggap meningkatkan konflik.

Dari semua opsi yang ada, serangan langsung ke wilayah Iran hampir pasti akan memantik perang lebih besar di kawasan Timur Tengah, dengan hasil akhir yang lebih suram.

AS hanya akan memperoleh dukungan Israel saja, sementara kekuatan lain di Timur Tengah maupun sekutu baratnya pasti akan menahan diri.

Mereka semua tahu risikonya. Jika Biden membiarkan Israel bebas terjun dalam serangan itu, maka dapat dipastikan perang akbar akan pecah disertai nuansa perang agama.

Secara geopolitik Timur Tengah, Iran adalah pakar perang asimetris untuk saat ini. Mengembangkan produk tempur dalam negeri, mereka berani menghadapi kekuatan jauh lebih kuat dan modern.

Iran yang disandera embargo ekonomi, tetap mampu secara mandiri melawan kekuatan yang jauh lebih kaya, berjaringan luas, dan pastinya super power.

Perang asimetris secara sederhana didefinisikan perang tidak biasa mempertemukan dua kekuatan yang tidak seimbang.

Pihak yang lemah menggunakan semua sumber daya yang dimiliki, mencari cara terbaik melihat kelemahan lawan, dan memanfaatkannya untuk menyerang balik.

Sosok Qassem Soleimani, Jenderal Top Iran yang Tewas Dibom AS hingga Disebut Picu Perang Dunia 3 (Kolase TribunNewsmaker - Ahad TV dan Serambinews via En.shafaqna)

Iran, seperti telah disebutkan di awal tulisan ini, telah menancapkan pengaruh kuatnya di berbagai elemen masyarakat di negara sekitarnya.

Di Irak, Teheran memiliki hubungan sangat kuat dengan Popular Mobilization Forces (PMF), paramiliter Syiah Irak.

Di Suriah jauh lebih signifikan karena Iran membangun relasi sangat baik dengan Presiden Suriah Bashar Asaad.

Di Lebanon, kelompok Hezbollah Lebanon tanpa sungkan menunjukkan hubungan eratnya dengan Iran.

Kelompok Hamas Palestina yang Suni, juga menjalin hubungan rahasia sangat lama, membangun kekuatan militernya atas dukungan Iran.

Sementara di Yaman, kelompok Houthi yang kini berkuasa dan membuat ketakutan AS dan sekutunya atas penguasaan jalur Laut Merah, juga disokong Iran.

Karena itu serangan langsung dan terbuka ke wilayah Iran, akan dengan segera memantik peperangan besar kawasan yang mungkin sulit dipadamkan seketika.

Patut untuk dipertimbangkan AS dan para pendukungnya, Iran telah menunjukkan kemampuan serangan jarak jauh menggunakan rudal pintar mereka.

Beberapa waktu lalu, Korps Garda Republik Iran meluncurkan serangan rudal balistik ke sasaran berjarak lebih kurang 1.000 kilometer.

Empat rudal Kheibar-Shekan atau juga sering disebut Castle Buster atau Fortress Buster,  ke target kelompok teroris di Idlib, Suriah.

Rudal itu diluncurkan dari pangkalan di Provinsi Khuzestan di barat daya Iran. Serangan tepat menemui sasaran yang ditentukan.

Aksi ini memecahkan rekor jangkauan Iran dalam penggunaan rudal dalam pertempuran, dan merupakan serangan rudal besar pertama dari pangkalan IRGC di Khuzestan sejak Perang Iran-Irak 1980-1988.

Para pengamat dengan cepat menjuluki Kheibar-Shekan sebagai salah satu sistem rudal berbahan bakar padat paling canggih yang dimiliki Iran.

Operasi ini menjadi strategis sekaligus peringatan keras karena Iran bisa dengan mudah menjangkau wilayah Israel, musuh bebuyutannya di Timur Tengah.

Ini juga pesan psikologis bagi AS yang memiliki begitu banyak pangkalan militer ilegal maupun yang diakui negara tuan rumah di Timur Tengah.

Selain Kheibar-Shekan, Iran masih rudal jarak jauh Fattah-1, Ashura, Fajr-3, dan Khorramshahr.  Fattah-1 adalah rudal hipersonik pertama yang dikembangkan Iran.

Rudal “Penakluk atau Pemberi Kemenangan” sesuai namanya itu, adalah rudal hipersonik berjangkauan 1.400 kilometer.

Kecepatannya mampu mencapai kecepatan suara Mach 13-15. Kecepatan itu jelas memungkinkannya menghindari semua sistem pertahanan udara di dunia.

Rudal Fattah-1 didukung mesin bahan bakar padat dua tahap. Setelah rudal Fattah-1, Iran melanjutkan ke produk rudal jelajah Fattah-2 berkecepatan hipersonik juga.

Belum banyak informasi tentang rudal hipersonik terbaru Iran ini.

Iran juga masih memiliki rudal jelajah Abu Mahdi, nama yang dipilih untuk menghormati almarhum Abu Mahdi al-Muhandis.

Abu Mahdi turut tewas bersama Qassem Soleimani oleh serangan drone AS. Tokoh Irak ini adalah pemimpin utama kelompok PMF Irak.

Rudal Abu Mahdi memiliki dimensi panjang 6 meter, lebar 0,55 meter, berat 1.650 kilogram dengan lebar sayap 3,1 meter.

Hulu ledaknya berkekuatan 410 kilogram. Didukung mesin turbojet Toloue buatan Iran dan mampu terbang dengan kecepatan subsonik sekitar 900 km per jam.

Jarak jangkau rudal ini lebih kurang 1.000 kilometer, dapat diluncurkan dari darat, kapal perang, maupun pesawat terbang.

Tidak diketahui berapa banyak stok rudal ini yang dimiliki Iran. Tapi secara efektif senjata ini mampu memberi sokongan Iran untuk mengontrol perairan Teluk Persia, Teluk Oman, dan hampir seluruh Laut Arab.

Selain rudal-rudal jarak jauh, Iran memiliki drone mutifungsi Mohajer-10. Drone ini bisa dikerahkan untuk misi pengawasan, serangan jarak jauh, peperangan elektronik, dan superioritas spektrum penuh.

Drone ini memiliki jangkauan operasional hingga 2.000 kilometer, waktu ketahanan 24 jam, ketinggian penerbangan maksimum 7 km, dan puncak kecepatan hingga 210 km per jam.

UAV ini memiliki kapasitas muatan 300 kg, dapat disesuaikan untuk membawa persenjataan atau peralatan pengawasan dan peperangan elektronik.

Mohajer-10 adalah yang terbaru dari rangkaian panjang drone seri Mohajer – yang asal usulnya dimulai sejak Perang Iran-Irak.

Militer Iran dan IRGC saat itu menyadari pentingnya drone dalam peperangan modern. Empat puluh tahun kemudian, media AS mengakui Iran sebagai lima kekuatan drone terbesar di dunia.

Di darat, Iran memiliki sistem pertahanan udara Sevom Khordad yang memiliki mobilitas tinggi dengan dukungan teknologi radar pendeteksi rudal, drone, dan pesawat tempur.

Drone mata-mata AS, RQ-4A Global Hawk BAMS-D pada 2019 hancur jadi besi tua sesudah ditembak rudal pertahanan udara Sevom Khordad.

Drone canggih itu terbang secara tidak sengaja ke wilayah udara Iran di atas Selat Hormuz.

Sevom Khordad dilengkapi perangkat elektronik pertahanan dan rudal permukaan ke udara (SAM) berbahan bakar padat berpemandu radar Taer-2B buatan Iran.

Radarnya mampu melacak 100 target pada jarak hingga 350 km. Rudal yang digunakan memiliki jangkauan hingga 200 kilometer, dan dapat mendaki ketinggian hingga 30 km.

Penembakan Global Hawk pada Juni 2019 oleh Sevom Khordad yang dioperasikan IRGC nyaris membawa Iran dan AS ke ambang perang.

Kelompok neokonservatif AS mendesak Trump membalas serangan Iran. Teheran langsung memberitahu Trump mereka bisa lebih mematikan pada saat yang sama.  

Iran bisa dengan mudah menembak jatuh pesawat mata-mata Boeing P-8 Poseidon berawak dengan hampir tiga lusin prajurit di dalamnya yang terbang bersama Global Hawk di sekitar Selat Hormuz.

Tapi Iran tak mengeksekusinya untuk menghindari eskalasi konflik. Trump pada akhirnya mengabaikan desakan kelompok neocon AS.

Iran berhasil mengirimkan pesan terang benderang ke Washington, meskipun Teheran tidak ingin berkonflik dengan AS,tapi mereka siap meladeni habis-habisan.

Ini sebagian fakta tentang Iran, situasi geopolitik Timur Tengah, dan sejumlah risiko jika Joe Biden dan Israel lupa daratan, dan memantik konflik lebih jauh dengan Iran.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini