Ada yang berspekulasi pula, termasuk internal Golkar sendiri, yang lagi-lagi menjadi indikasi dukungan kepada Jokowi: "DNA" politik Jokowi sesungguhnya adalah Golkar, karena semasa menjadi pengusaha mebel, sebelum maju sebagai calon walikota Solo dari PDIP tahun 2005, Jokowi sudah mempraktikkan ajaran Golkar, yakni karya- kekaryaan.
Jadi, ketika nanti menjadi ketua umum Golkar, Jokowi ibarat kembalinya si anak hilang.
Politik Sandera
Segampang apakah Jokowi mengambil alih Golkar? Tidak mudah. Tetapi juga tidak terlalu sulit.
Jokowi memang bisa terbentur Pasal 18 ayat (4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar yang mensyaratkan calon ketua umum harus sudah pernah aktif berturut-turut di Golkar selama 5 tahun dan tidak pernah menjadi anggota parpol lain.
Akan tetapi, AD/ART bukan kitab suci. AD/ART dengan mudah dapat diamandemen.
Apa sih yang tak bisa dilakukan Jokowi? Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) pun bisa ia "intervensi" dengan lahirnya keputusan Nomor 90/2023 yang meloloskan Gibran sebagai cawapres kendati masih berumur 36 tahun. Ada Paman Usman di MK.
Apa sih yang tak bisa dilakukan Jokowi? Bahkan ketua umum-ketua umum parpol pun bisa dia "sandera" untuk mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Kini, politik sandera pun bisa Jokowi mainkan lagi untuk mengambil alih kursi Golkar-1.
Akankah Airlangga defensif? Tergantung seberapa kuat cengkeraman "sandera" yang ia rasakan.
Yang jelas, tak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingan. Hari ini Airlangga berkawan dengan Jokowi, esok bisa saja akan berlawanan.
Bedanya, Airlangga bukan seorang petarung, sedangkan Jokowi sudah terbukti sebagai seorang petarung sejati.
Kini, Beringin ibarat telur di ujung tanduk.
* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).