Selain itu, ia berperan penting dalam mengobarkan perselisihan internal dalam kelompok perlawanan Irak yang menentang pendudukan AS.
Perselisihan yang memicu perang saudara sektarian antara komunitas Sunni dan Syiah di Irak. Konflik ini merenggut begitu banyak nyawa warga Irak.
Kehadiran Zarqawi dan konflik internal yang dipantiknya di Irak, memberi keuntungan besar bagi Israel.
Tel Aviv secara politik berusaha terus melemahkan kekuatan negara-negara di sekitarnya. Karena itu konflik internal bersifat sektarian harus dilanggengkan.
Ini akan melemahkan kemampuan mereka untuk menantang Israel di wilayah tersebut. Begitu juga situasi yang dialami Suriah.
Kelompok jihadis proksi Turki, Saudi, Emirat, dan yang disokong AS, Inggris dan sekutu baratnya dipompa masuk ke Suriah, melawan pemerintahan Bashar Assad.
Termasuk ISIS Abu Bakr Al Baghdady, setelah deklarasi Mosul, digerakkan menyeberang Suriah dan menciptakan perang dan teror yang kejam.
Kembali ke Afghanistan masa Soviet, CIA menciptakan Al-Qaeda sebagai bagian dari perang rahasianya melawan Tentara Merah di Afghanistan pada era 1980an.
CIA juga mendukung kehadiran elemen Al-Qaeda dalam berbagai perang, termasuk di Bosnia, Kosovo, dan Chechnya pada 1990an.
Selain itu, bukti menunjukkan dukungan CIA terhadap kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda selama perang rahasia di Suriah yang diluncurkan pada 2011 di tengah apa yang disebut Arab Spring.
Terlepas dari sejarah ini, jurnalis, analis, dan sejarawan Barat masih menganggap Zarqawi dan AQI adalah benar-benar musuh bebuyutan AS.
Tanpa memahami peran Zarqawi sebagai aset intelijen AS, mustahil untuk memahami peran destruktif yang dimainkan AS (dan Israel) dalam pertumpahan darah yang terjadi di Irak.
Tidak hanya pada invasi awal 2003 namun juga dalam melancarkan perselisihan sektarian berikutnya antara kaum Syiah dan Sunni.
Penting juga untuk memahami pentingnya upaya Irak saat ini untuk mengusir pasukan AS dan menyingkirkan pengaruh AS di negara tersebut di masa depan.