Netanyahu memang saat ini mendapat serangan kuat dari oposisi yang menentangnya, tapi ia harus melakukan sesuatu untuk menyenangkan pendukungnya.
Serangan target Iran di Suriah ini salah satu strateginya, guna menciptakan persepsi ancaman nyata Iran ke negaranya.
Secara domestik, apa yang dilakukan Nentayahu di Suriah sangat berkepentingan secara politik. Sikap kerasnya di Gaza dan Lebanon juga amat berkorelasi dengan kepentingan politik domestik.
Lantas bagaimana Gedung Putih menyikapi situasi ini? Bagaimana hubungan Netanyahu dengan Biden?
Bagi para ahli yang menganalisis hubungan antara Netanyahu dan pemerintah AS dalam retrospeksi sejarah, perubahan sikap terbaru Presiden Biden terhadap Netanyahu bukanlah kejutan.
Benjamin Netanyahu adalah seorang ‘anak’ Amerika dalam perspektif historis. Ia termasuk tokoh dominan dalam sejarah politik Israel.
Daya tahannya luar biasa, kontroversial tapi memiliki kecerdasan strategis. Ia merupakan Perdana Menteri Israel paling lama menjabat.
Karir politik utamanya dimulai sejak 1996 hingga 1999, dan kemudian 2009 dan seterusnya hingga saat ini, dengan kepemimpinannya yang bertahan melalui berbagai koalisi dan iklim politik.
Netanyahu lahir pada tahun 1949 di Tel Aviv. Ibunya, Tzila Segal (1912–2000), lahir di Yerusalem, dan ayahnya, Benzion Netanyahu (Mileikowsky; 1910–2012) berasal dari Warsawa, Polandia.
Ayahnya seorang ahli sejarah yang mengkhususkan diri pada Zaman Keemasan Yahudi di Spanyol.
Kakek dari pihak ayah, Nathan Mileikowsky, adalah seorang rabi dan penulis Zionis.
Aktivitas kakek dan ayahnya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan ide-ide nasionalis Netanyahu.
Antara 1956 dan 1958, dan kemudian dari tahun 1963 hingga 1967, keluarganya tinggal di AS di Cheltenham Township, Pennsylvania, pinggiran kota Philadelphia.
Sementara ayahnya, Benzion Netanyahu, mengajar di Dropsie College.
Setelah menyelesaikan sekolah menengah pada tahun 1967, Netanyahu kembali ke Israel untuk mendaftar di Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Ia berpartisipasi dalam serangkaian operasi militer dan terluka beberapa kali. Pada 1972, ia menyelesaikan dinasnya dan diberhentikan.
Netanyahu kembali ke AS pada akhir tahun yang sama untuk belajar arsitektur di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Setelah kembali sebentar ke Israel untuk berpartisipasi dalam Perang Yom Kippur, ia kembali ke AS dan, dengan nama Ben Nitay.
Ia memperoleh gelar Bachelor of Science di bidang arsitektur pada Februari 1975, diikuti gelar Master of Science dari Sekolah Manajemen di MIT pada Juni 1976.
Pada saat yang sama, ia mengejar gelar PhD dalam ilmu politik sampai studinya terganggu oleh berita tragis kematian saudaranya di tahun yang sama.
Saudara Netanyahu tewas dalam operasi Entebbe, operasi anti-teroris untuk membebaskan sandera yang diambil dalam penerbangan dari Tel Aviv ke Paris di Uganda.
Orang-orang dekat Netanyahu mencatat bertahun-tahun mengabdi di IDF dan kemudian kematian saudaranya semakin memperkuat posisinya mengenai masalah Palestina.
Setelah menghabiskan beberapa bulan di Israel, 'Bibi' kembali ke AS dan mulai bekerja sebagai konsultan ekonomi untuk Boston Consulting Group.
Ia bertemu dan berteman dengan Mitt Romney, seorang politisi Partai Republik yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Massachusetts.
Romney menantang Barack Obama pada Pilpres AS 2012, dan kemudian menjadi senator junior dari Utah pada 2019.
Dengan demikian, dapat dicatat sebelum terjun dalam politik Israel, Netanyahu telah memiliki karir dan koneksi yang signifikan di AS, yang menentukan arah prioritas kebijakan luar negerinya.
Hubungan antara Netanyahu dan AS membaik pada masa kepresidenan George W Bush, terutama ketika Netanyahu menjabat sebagai menteri keuangan.
Sikap kuat pemerintahan Bush dalam memerangi terorisme setelah serangan 11 September sejalan dengan kebijakan keamanan Netanyahu.
Selain itu, dukungan Bush terhadap hak Israel untuk membela diri sejalan dengan filosofi pemerintahan dan pribadi Netanyahu.
Ketegangan yang signifikan meningkat selama masa kepresidenan Barack Obama. Pertama, Bibi tidak senang dengan dukungan Washington terhadap gerakan protes dan kudeta negara di Timur Tengah selama Arab Spring.
Perdana Menteri Israel yakin revolusi itu akan menyebabkan kekuasaan di negara-negara Arab jatuh ke tangan para pendukung gerakan Islam radikal, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dan konflik dengan negaranya.
Namun, di Gedung Putih, kekhawatirannya diabaikan, dan posisi negara-negara tersebut dalam masalah ini sangat bertentangan.
Sikap Politik Demokrat AS
Hubungan dengan pemerintahan Joe Biden (Demokrat) saat ini tidak dimulai dengan baik, ketika Biden mempertimbangkan kembali ke JCPOA dengan Iran, yang semula dicabut sepihak oleh Donald Trump.
Demokrat AS juga mengutuk kebijakan perluasan ilegal pemukiman Israel di wilayah Palestina, melanjutkan pendanaan untuk badan Timur Tengah PBB untuk Palestina (UNRWA), dan secara terbuka mendukung solusi dua negara.
Meskipun Netanyahu dan Biden sudah saling kenal selama lebih dari empat dekade, pandangan politik mereka sangat berbeda.
Setelah hubungan antara Israel dan Palestina kembali meningkat pada Mei 2021 dan serangkaian krisis internal di Israel, Netanyahu terpaksa “beristirahat.”
Pada 13 Juni 2021, pemerintahan baru Naftali Bennett dan Yair Lapid dilantik. Pemerintah baru mencoba memperbaiki hubungan dengan Partai Demokrat.
Namun serangan militer Rusia di Ukraina menghalangi hal ini. Washington menuntut agar semua orang ikut serta dalam sanksi anti-Rusia dan mengisolasi Moskow.
Israel, seperti semua mitra Amerika di kawasan Timur Tengah, tidak setuju.
Namun “perpisahan” Netanyahu tidak berlangsung lama, dan pada Desember 2022, ia telah kembali ke panggung politik Israel, membentuk kabinet paling sayap kanan dalam beberapa dekade.
Situasi dengan Washington menjadi lebih buruk lagi. Bibi dan pemerintahannya dikecam karena sikap netral mereka terhadap konflik Ukraina.
terlebih lagi, atas reformasi peradilan yang disebutkan di atas, yang oleh AS dianggap sebagai “ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebebasan di Israel.”
Pada 20 Maret 2023, Biden melakukan percakapan telepon dengan Netanyahu, di mana ia sekali lagi mengangkat pentingnya demokrasi bagi hubungan AS-Israel.
Namun krisis ini semakin parah. Setelah reformasi peradilan ditangguhkan, Biden mengatakan kepada media Israel “tidak bisa lagi mengambil jalan ini” dan menyatakan harapan bahwa perdana menteri Israel akan membatalkan rencananya.
Terlebih lagi, Biden menyatakan dia tidak bermaksud mengundang Netanyahu ke Gedung Putih “dalam waktu dekat,” yang membuatnya semakin kesal.
Keesokan harinya, Netanyahu menjawab: “Israel adalah negara berdaulat yang mengambil keputusan berdasarkan keinginan rakyatnya, bukan berdasarkan tekanan dari luar, termasuk dari sahabatnya.”
Peristiwa 7 Oktober 2023 pun tidak memperbaiki hubungan Netanyahu yang sudah tegang dengan Washington.
Pemerintahan Biden mendukung Israel, meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut. Bantuan senjata dan finansial mengalir ke Israel.
Namun, Gedung Putih sangat tidak senang dengan operasi darat IDF di Gaza.
Berbagai upaya untuk menekan Netanyahu dan membuat perjanjian gencatan senjata tidak berhasil. PM Israel mengabaikan semua “garis merah” pemerintahan Biden.
Perjalanan saingan Netanyahu, Benny Gantz, ke AS pada tanggal 4 Maret 2024 dan negosiasinya dengan para pejabat Amerika tidak dikoordinasikan dengan Netanyahu.
Banyak yang melihat ini sebagai upaya AS untuk menyingkirkan Netanyahu dan menggantikannya dengan Gantz, yang hanya memperburuk perselisihan antar negara.
Pada 7 April, konflik antara Hamas dan Israel akan berusia enam bulan, namun masih belum ada resolusi yang terlihat.
Washington, bersama dengan pemain regional Qatar dan Mesir, mencoba mencapai kesepakatan gencatan senjata sebelum dimulainya bulan suci Ramadhan, namun semuanya sia-sia.
Kelaparan yang membunuh anak-anak Gaza memiliki penyebab yang jelas dan hanya sedikit orang yang mau menyebutkannya secara terang-terangan
Pada tanggal 7 Maret, dalam percakapan dengan Senator Demokrat Michael Bennet, Biden mengungkapkan keresahannya atas sikap Netanyahu.
Intinya, Netanyahu dianggap lebih banyak merugikan Israel daripada membantunya, dengan membuat seluruh dunia terpuruk.
Menurut Biden, ini bertentangan dengan apa yang diperjuangkan Israel. Baginya, itu kesalahan besar yang dilakukan Netayahu.
Serangan ke Damaskus terhadapp target Iran, sekali lagi menunjukkan kekeraskepalaan Netanyahu. Ia sama sekali tak mengendurkan sikapnya walau risikonya sangat besar.
Sulit membayangkan, jika pembunuhan dua jenderal Garda Republik Iran di Damaskus ini akan dianggap sepele oleh Teheran.
Terjunnya Iran ke medan tempur terbuka pasti akan mengubah Timur Tengah jadi api peperangan yang tak terkira dampaknya bagi dunia.
Kekuatan yang bisa meredam atau menghentikan potensi perang akbar melibatkan Iran di Timur Tengah ini hanya AS sebagai super power.
Atau jangan-jangan Netanyahu menyerang target Iran, sebagai upaya memprovokasi Washington agar tidak bersikap mendua terhadap Israel.
Wallahualam.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)