Tekanan kuat publik yang selama ini diarahkan ke Israel, bisa melemah karena konflik beralih ke persoalan lebih serius antara Israel dan Iran.
Israel pun berpotensi mendapatkan pengaruh AS dengan menawarkan diri akan menghindari konflik regional yang meluas sebagai imbalan tujuan strategisnya di Gaza.
Sementara melihat reaksi dunia, pernyataan-pernyataan para pemimpin Eropa pro-AS agaknya tidak bakal signifikan.
Umumnya mereka mengutuk serangan Israel, dan sebaliknya memperlihatkan sikap standar ganda mereka terhadap Israel.
Persis sikap sama mereka tunjukkan dalam konteks perang Rusia-Ukraina.
Menlu Rusia Sergey Lavrov meminta Iran dan Israel menahan diri guna menghindari permusuhan lebih lanjut. Hal sama diserukan pemerintah China.
Tidak ada kata kutukan atau kecaman terhadap Iran. Ini mencerminkan sikap Moskow yang berusaha memahami tindakan balasan Iran ke Israel.
Sementara para pemimpin Arab umumnya menghindari pernyataan yang bisa memicu permusuhan dengan Iran, serta menjaga jarak dengan Israel.
Mereka memahami betapa sensitifnya situasi di kawasan Timur Tengah. Adapun mengenai Yordania, situasinya mungkin jauh lebih rumit daripada yang diperkirakan.
Selain Mesir, Yordania adalah pintu masuk keluar jalur darat ke Israel yang sangat strategis. Jalur Yordania sangat penting secara ekonomi karena rute wisata religius paling ramai di dunia.
Amman juga memiliki perjanjian damai dengan Israel, dan secara historis Yordania memiliki hak khusus di Yerusalem.
Hubungan Raja Abdullah dengan barat juga sangat Istimewa, yang menjadikan klan Hashemite Yordania walau kecil, tapi sangat penting bagi AS.
Tapi secara historis politis pula, kini menjadi kian nyata betapa para penguasa Arab masih ada di bawah hegemoni barat.
Sebaliknya, Iran telah mampu membuktikan kegarangan mereka melawan Israel secara langsung. Nilai Teheran kian kuat di mata masyarakat Arab yang peduli dengan masalah Palestina.
Secara militer, Israel memiliki kompetitor baru yang nyata di Timur Tengah. Turki juga kuat, tapi mereka tak berani melawan Israel secara langsung.
Suriah puya keberanian seperti Iran, tapi kemampuan militer dan teknologi tempur mereka tak sebanding karena dirundung perang.
Irak punya potensi seperti Iran, tapi kemampuan militer dan teknologinya juga masih rendah setelah Saddam Hussein dijatuhkan.
Apalagi Irak masih jadi tempat bercokolnya ribuan tentara AS dan mesin-mesin perangnya yang melindungi penghisapan sumber-sumber minyak di negara itu dan tetangganya, Suriah.
Baghdad masih ada di bawah hegemoni Washington, walau berusaha keras mulai melepaskan diri dengan cara menegosiasi ulan kehadiran pasukan AS di negara itu.
Situasi sesudah gelombang serangan rudal balasan Iran agaknya akan lebih cenderung kembali ke kenormalan awal.
Israel tidak akan langsung membalas. Iran akan menahan diri sepanjang Israel tidak memprovokasi mereka.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)