News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Selamat Ulang Tahun Ke-94 PSSI, Ternyata Michel Platini, Anak Imigran

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Selebrasi bek Timnas Indonesia, Komang Teguh saat melawan Australia pada lanjutan Grup A Piala Asia U23 2024, Kamis (18/4/2023) malam WIB.

Menurut catatan Soccerphile: Jerman (4 kali juara dunia: 1954, 1974, 1990, 2014), Italia (1934, 1938, 1982, 2006), Argentina (1978, 1986), Prancis (1998, 2018), Inggris (1966), dan Spanyol (2010), adalah negara juara dunia yang tidak luput menggunakan para pemain dari ketiga sumber, dua, atau salah satu di antaranya.

Jerman misalnya, dari banyak pemain naturalisasi dan imigran, saya hanya mengambil dua saja sebagai contoh: Gerald Asamoah (Ghana) dan mesin gol Lukas Podolski (Polandia). Saya tak perlu menjabarkan siapa mereka, karena untuk penggila bola, keduanya sangat dikenal kehebatannya.

Lalu Italia, pelatih Luciano Spalletti, mempercayakan tim Gli Azzuri, ikuti dimotori oleh lima pemain yang tidak memiliki darah negeri spaghetti sama sekali. Bahwa lahir di Italia, itu karena orang tua mereka bermigrasi atau menjadi imigran. Mereka adalah: Emerson Palmieri (bek), Jorginho (gelandang) asal Brasil, Wilfried Gnoto, Koise Kean (penyerang) berdarah murni Pantai Gading, Stephan Shaarawy (penyerang) imigran Mesir,

Jauh sebelumnya Felice Borel, sudah memperkuat timnas Italia. Untuk anak milenial, nama ini sama sekali tidak dikenal, tapi sejarah mencatat warga Perancis yang lahir di Bagus, itu dinaturalisasi awal 1930an. Dan ia tercatat sebagai pemain yang membawa Italia merebut Piala Dunia ke-2, 1934.

Argentina sendiri yang melejit berkata kehebatan Mario Kempes dan Diego Maradona, ternyata dua bintangnya di era 1990-an, Gabriel Batistuta dan Claudio Caniggia, adalah anak-anak dari Imigran Italia. Padahal, Argentina yang memiliki populasi 37, 7 juta di tahun 2000, memiliki lebih dari 10 juta pemain bola dari berbagai tingkatan.

Prancis pun beberapa bintang yang sempat membawa negeri itu menjadi juara Eropa dan dunia, diperkuat oleh anak-anak imigran: Reymond Kopa (Polandia), Michel Platini (Italia), Youri Djorkaeff (Armenia), Robert Pires (Pirtugal), David Trezeguet (Argentina).

Kemudian, para pemain dari negeri bekas jajahan, Ibrahim Ba (Senegal), Marcel Desailly (Ghana), Chrustian Karembeu (New Caledonia), Thierry Henry (Guadalupe), Lilian Thuram (Guadalupe(, Zinedibe Zidane (Aljajair).

Dan yang paling menarik adalah Michel Platini, bintang Prancis yang mampu menggetarkan orbit bumi. Meski lahir di Joeuf, Perancis, ternyata dia anak seorang imigran Italia.

Kemudian Belanda yang sempat mengguncang dunia dengan Total Football 1974 dan 1978. Juga mengejutkan jagad dengan trio fenomenalnya: Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Marco van Basten awal 1990an. Mereka juga tak dapat menghindari para pemain yang kemudian jadi bintang dunia tidak berdarah Belanda sama sekali.

Di awali oleh Simon Tahamata (Maluku, Indonesia), awal 1970an dinaturalisasi, KNVB melanjutkan dengan merekrut anak-anak dari negeri bekas jajahan, Suriname. Muncullah bintang besar Ruud Gullit, disusul Frank Rijkaard, Clerence Seedorf, Aaron Winter, Pierre Hooijdonk, Edgar Davis, Patrick Kluivert, dan banyak lainnya.

Jadi, negeri yang pernah menjadi juara dunia, Eropa, dan Amerika saja tidak tabu menggunakan pemain yang bukan 100 persen warganya, mengapa kita kok 'direcoki' untuk diperkuat oleh mereka yang punya darah Indonesia?

Jika dulu, 2009, saat, saya, sahabat Yesayas Oktovianus (Kompas), Reva Deddy Utama (antv), dan Erwiantoro (Cocomeo), ditugaskan oleh PSSI untuk membuka wacana naturalisasi ke Belanda, bersepakat hanya jalan pintas, sekarang saya sebagai pribadi justru mengukuhkan naturalisasi adalah jalan terbaik.

Tentu ada yang tidak sependapat, saya pun tidak keberatan. Toh setiap kita punya cara pandang masing-masing. Saya tetap menghormati mereka, sepanjang mereka tidak punya niat buruk di dalamnya.

Sungguh, apa yang sedang dilakukan oleh PSSI saat ini, tujuannya jelas untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. PSSI yang dilahirkan 19 April 1930 untuk perjuangan, saatnya kini memetik hasilnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini