Pihak kampus mengatakan langkah tersebut dilakukan setelah “apa yang dimulai sebagai demonstrasi siswa dua hari lalu disusupi penyelenggara profesional yang tidak berafiliasi dengan Northeastern”.
Ia menambahkan individu yang ditahan dan menunjukkan kartu identitas kampus yang sah telah dibebaskan dan akan menghadapi proses disipliner, bukan tindakan hukum.
Pimpinan Northeastern mengklaim teriakan “Bunuh Orang Yahudi” terdengar saat protes, dan ini jadi alasan tindakan keras terhadap demonstran oleh pasukan keamanan.
Namun, anggota gerakan protes pro-Palestina di universitas tersebut menolak tuduhan tersebut.
Di Bloomington di Midwest, Departemen Kepolisian Universitas Indiana menangkap 23 orang saat mereka membersihkan kamp protes kampus.
Departemen Kepolisian Arizona State University menangkap 69 orang karena masuk tanpa izin setelah kelompok tersebut mendirikan “perkemahan tidak sah” di kampus.
Di seluruh AS, pimpinan universitas telah mencoba, dan sebagian besar gagal, untuk meredam demonstrasi.
Sekitar seminggu lalu di Universitas Columbia di New York, lebih dari 100 aktivis pro-Palestina ditangkap.
Represi di Kampus-kampus Ternama AS
Apa yang dimulai di kampus Columbia telah berubah menjadi pertikaian nasional antara mahasiswa dan pemerintah mengenai protes pro-Palestina dan pembatasan kebebasan berpendapat.
Dalam 10 hari terakhir, ratusan mahasiswa telah ditangkap, diskors, hukuman percobaan, dikeluarkan dari perguruan tinggi, termasuk Universitas Yale, Universitas California Selatan, Universitas Vanderbilt, dan Universitas Minnesota.
Beberapa universitas terpaksa membatalkan upacara wisuda, sementara gedung-gedung universitas lainnya ditempati oleh para pengunjuk rasa.
Ini sebuah tindakan langka yang memiliki risiko besar bagi para mahasiswa di AS yang menyuarakan solidaritas rakyat Palestina.
Mereka yang masuk ke kampus-kampus ternama di AS, seperti Yale. Princeton, Harvard, Columbia, memiliki tujuan besar bersekolah di universitas berbiaya mahal itu.
Tahu risikonya, dan tetap mengambil sikap menyuarakan keprihatinan atas apa yang terjadi di Palestina, tentu sebuah pilihan yang luar biasa.
Para mahasiswa menunjukkan gairah baru terhadap topik Palestina-Israel. Para mahasiswa dan semua yang terlibat aksi rela mempertaruhkan segalanya.
Ini nyaris menjadi sebuah tontonan dan gerakan besar di AS pada dekade 60an, ketika masyarakat menolak perang tak berkesudahan di Vietnam.
Aksi nasional yang memaksa pemerintah AS menarik pulang pasukannya dari Vietnam, sembari menutup malu atas kekeliruan dan kekalahan mereka.
Hanya kali ini, atmosfernya agak berbeda, karena peluang persekusi, diskriminasi, dan penindasan menimpa para mahasiswa Muslim, serta pelajar dan mahasiswa kulit berwarna di AS.
Di Kanada, kamp protes kampus pertama digelar di Universitas McGill di Montreal.
Para pengunjuk rasa menuntut Universitas McGill dan Concordia mendivestasi dana yang terkait dengan negara Zionis serta memutus hubungan dengan institusi akademis Zionis.
Ini tuntutan yang sama persis dengan gerakan mahasiswa di kampus-kampus besar di AS. Volume massanya saja yang berbeda.
Represi terhadap pengunjukrasa terlihat saat Dr Jill Stein dari Partai Hijau AS ditangkap di Universitas Washington di St Louis, Missouri.
Penangkapan Stein terjadi di tengah tindakan keras nasional terhadap demonstrasi anti-Israel.
Stein, manajer kampanyenya, dan wakil manajer kampanyenya termasuk di antara 100 orang yang ditahan Sabtu.
Rekaman video menunjukkan perempuan berusia 73 tahun itu dibawa keluar dari kamp oleh tiga petugas polisi, tangannya tampaknya diikat ke belakang dengan tali pengikat.
Perkemahan tersebut didirikan untuk menuntut universitas tersebut melakukan divestasi dari Boeing, yang memproduksi senjata yang digunakan oleh militer Israel untuk menyerang Gaza.
Kampanye Stein mendukung tuntutan mahasiswa dan protes damai serta pertemuan mereka di kampus.
Stein adalah seorang aktivis Yahudi-Amerika, dan sudah lama mengkritik negara Israel. Dia menentang pembangunan pemukiman Yahudi di tanah Palestina.
Ia mendukung gerakan BDS (Boikot, Divestasi, dan Sanksi), dan menuduh Israel melakukan “genosida” di Gaza.
Stein mencalonkan diri sebagai Presiden AS pada 2012 dan 2016, meraih lebih dari 1 persen suara populer dalam kontes 2016 bersama Donald Trump dan Hillary Clinton.
Pada November 2023, ia mengumumkan akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun ini, menjanjikan reformasi lingkungan hidup dan kebijakan luar negeri baru berdasarkan diplomasi, hukum internasional, dan hak asasi manusia.
Kesadaran Moral Kolektif Masyarakat
Protes mahasiswa untuk perdamaian dan kebebasan sipil dalam konteks saat ini selalu mewakili bagian terbaik dari kesadaran moral kolektif masyarakat.
Kesadaran ini tidak berbatas apapun, akan sama secara universal saat semua orang di planet ini merasakan sisi kemanusiaannya.
Uniknya, saat gelombang protes dan solidaritas Palestina melanda AS, Kanada, Inggris dan Eropa, ekspresi serupa belum tampak menonjol di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.
Ketika isu ini menemukan momentumnya di dunia barat, mestinya harus ditangkap dan membesarkan gelombang solidaritas Palestina supaya pengaruhnya semakin kuat.
Elite Israel pun saat ini sedang gelisah melihat potensi Benyamin Netanyahu dan tokoh-tokoh Israel akan dimasukkan daftar penjahat perang oleh Mahkamah Internasional.
Mereka gelisah karena Washington tidak menunjukkan pembelaan yang kuat atas masalah ini. Presiden Joe Biden bahkan dicurigai akan membiarkan hal itu jika terjadi.
Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi dan wewenang mengadili kejahatan perang di dunia. Israel telah didaftarkan kasusnya di pengadilan ini, dan proses sedang berlangsung.
AS menarik diri dari keanggotaan mahkamah ini sebelum pasukan AS menginvasi Irak dan menggulingkan Sadam Hussein.
Kita tunggu, gelombang solidaritas mahasiswa dan masyarakat untuk Palestina apa juga akan segera membesar di tanah air kita.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)