Langkah proteksi industri domestik AS dan sejumlah inisiatif internasional dan regional yang diarahkan secara frontal ke Tiongkok dikhawatirkan akan melestarikan iklim yang tidak kondusif untuk kerja sama lintas negara dan kawasan.
Terlebih lagi, persistensi AS untuk menyokong perang proxy di Ukraina, terus memburuknya situasi Israel-Palestina dan kawasan Timur Tengah, serta resiko eskalasi di Taiwan dan Laut China Selatan, akan lebih menyulitkan posisi AS di kawasan.
Relatif absen-nya AS di kawasan Asia Tenggara di satu sisi dan semakin derasnya minat investasi di kawasan di mana China akan berperan lebih besar (sebagai penerima maupun penyedia investasi) di sisi lain akan mendorong komplikasi yang tidak sedikit dan tidak mudah. Di sinilah perilaku kepemimpinan negara-negara akan diuji dan di sini pulalah kemitraan strategis komprehensif Indonesia Tiongkok akan memasuki momentum baru.
Ada catatan penting dari pernyataaan Deputi Wakil Tetap Tiongkok untuk PBB, Dai Bing di pertemuan khusus tingkat tinggi Forum Pembiayaan untuk Pembangunan PBB hari Selasa lalu (22/04) terkait pentingnya tata kelola pembiayaan pembangunan demi pembiayaan global yang lebih inklusif, bermanfaat secara universal dan tangguh.
Reformasi arsitektur keuangan internasional, mobilisasi sumber daya pembangunan, perluasan representasi dan hak suara negara-negara berkembang, serta konsolidasi kapasitas bank pembangunan multilateral dalam mendorong inovasi instrumen pembiayaan adalah sejumlah inisiatif yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
Komitmen untuk penanganan perubahan iklim dan pembiayaan sektor energi bersih sepatutnya menjadi ruang kerja sama yang melampaui geopolitik. Kemitraan Transisi Energi Adil (JETP) yang didorong oleh AS dan Kemitraan Investasi dan Keuangan Ramah Lingkungan (GIFP) yang diinisiasi oleh China tidak perlu dibenturkan dan sebenarnya berpotensi untuk mendorong realisasi inisiatif hijau global, seperti pencapaian emisi nol bersih dalam proses pembangunan ekonomi berkeadilan dan regeneratif di pelbagai pelosok.
Terlepas dari perang narasi di media arus utama, kredibilitas AS di kawasan akan sulit dipertahankan jika upaya AS menjamin kepentingan nasionalnya dilakukan dengan mengorbankan pembangunan kawasan - baik di Asia Tenggara atau lainnya.
Prinsip non-blok yang dipegang teguh oleh Indonesia dan dianut pula oleh Tiongkok sejak Konferensi Bandung 1955 perlu mendapat penjelmaan baru. Ini akan menjadi salah satu mandat terpenting yang harus dipangku oleh pemerintahan baru Indonesia yang akan datang.
*) Direktur Komunikasi dan Kajian Strategis Gentala Institute Indonesia