News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Apa Arti Surat Penangkapan Netanyahu, Gallant, Yahya Sinwar dan Ismail Haniyeh?

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase foto Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Ketua sayap politik gerakan Hamas Yahya Sinwar

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Jaksa Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) meminta surat penangkapan terhadap PM Israel Benyamin Netanyahu, Menhan Israel Yoav Gallant, dan tiga petinggi Hamas Palestina.

Ketiga pemimpin Hamas itu terdiri atas Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, dan Mohammed Diab Ibrahim al-Masri. Sementara Ismail Haniyeh bermukim di Doha, Qatar, Yahya Sinwar dan al-Masri berada di Gaza.

Mereka dikenai tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terkait perkara yang kini disidangkan ICC. Laporan kejahatan itu dilayangkan sejumlah negara, antara lain Afrika Selatan.

Surat permintaan pelaku kejahatan perang di konflik Israel-Palestina itu diajuan Kepala Jaksa Penuntut ICC, Karim Khan.

Perkembangan sensasional di ICC terkait konflik Israel-Palestina ini ditanggapi beragam oleh berbagai pihak.

Baca juga: Netanyahu Muak Israel Dibandingkan dengan Hamas, Tolak Surat Perintah Penangkapan dari ICC

Baca juga: Hamas Girang, Afrika Selatan Sodorkan Lima Bukti Genosida Israel ke ICJ

Baca juga: Pukulan Diplomatik Buat Israel, Mesir Gabung Afrika Selatan Lawan Israel dalam Kasus Genosida Gaza

Israel sampai saat ini tidak menjadi anggota ICC. Demikian pula AS, menarik diri dari keanggotaan ICC beberapa tahun lalu. Rusia pernah meneken Statuta Roma, yang jadi dasar pendirian ICC, tapi tidak perah meratifikasi keanggotaan mereka.

Sejarah singkat ICC dimulai Juli 1998 di Roma. Ada 120 negara anggota PBB mengadopsi sebuah perjanjian untuk menetapkan, pertama kalinya dalam sejarah dunia, pengadilan pidana internasional permanen.

Perjanjian ini mulai berlaku 60 hari setelah 60 negara menjadi pihak Statuta melalui ratifikasi atau aksesi. Tepatnya, ICC mulai beroperasi pada 1 Juli 2002, setelah berlakunya Statuta Roma.

Negara-negara yang menjadi pihak Statuta Roma kemudian menjadi anggota ICC dan bertugas di Majelis Negara-negara Pihak yang mengelola pengadilan.

Per Desember 2020, terdapat 123 negara anggota ICC yang 42 negara di antaranya tidak menandatangani dan tidak menjadi pihak Statuta Roma.

Pada perkembangannya, sejumlah negara anggota menarik diri dari ICC dengan berbagai alasan, termasuk AS dan Rusia.

ICC adalah pengadilan permanen untuk menuntut individual atas tindakan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.

ICC dirancang untuk membantu sistem yudisial nasional yang telah ada. Namun, pengadilan ini hanya dapat melaksanakan yurisdiksi apabila pengadilan negara enggan atau tidak sanggup untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan seperti yang disebutkan di atas.

Langkah terkini ICC yang akan menangkap Netanyahu, Gallant, Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, dan al-Masri ini sangat menarik dalam perspektif peredaan konflik, dan jika mungkin pengakhiran konflik Palestina-Israel.

Tapi apakah akan efektif dan bisa direalisasikan? Pertama, ini tahap yang sangat tidak mudah. Israel bukan anggota ICC, yang artinya yurisdiksinya akan diperdebatkan secara sengit.

Statuta Roma berikut ratifikasi dan aksesinya akan menentukan bagaimana surat perintah penangkapan ICC itu bisa diberlakukan.

ICC pada 2022 pernah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dan Komisaris Rusia untuk hak-hak anak, Maria Lvova-Belova.

Keduanya disangka melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap anak-anak Ukraina, terkait perang yang terjadi di Ukraina.

Tapi perintah ICC itu tidak efektif sampai saat ini. Vladimir Putin masih bebas bepergian ke mana saja di luar Rusia.

Hal sama agaknya akan berlaku bagi Netanyahu dan kawan-kawan pemimpin Israel saat ini. Juga berlaku bagi Yahya Sinwar dan para pemimpin Hamas baik di Palestina maupun di luar negeri.

Tetapi langkah ICC ini akan memberi pukulan politis psikologis terhadap para tokoh tersebut, dan dalam konteks konflik yang terjadi di tanah Palestina serta Israel.

Secara hukum, daftar nama yang disebut ICC adalah orang-oang yang memiliki masalah besar, para pelaku kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan dari kedua pihak yang berkonflik.

Artinya, ICC melihat petaka kemanusiaaan akibat upaya pemusnahan massal, hilangnya berpuluh ribu nyawa di Palestina dan Israel, menjadi tanggungjawab orang-orang ini.

Dalam sudut pandang hukum, upaya ini langkah memberi kepastian atas kasus kejahatan perang yang tengah disidangkan ICC di Denhaag.

Pemerintah Israel langsung mengecam perkembangan ini. Menlu Israel, Israel Katz menuduh ICC melakukan seranga langsung yang tak terkendali terhadap rakyat Israel.

Katz juga mengecam penyamarataan status pemimpin Israel dan para tokoh Hamas yang ia sebut sebagai monster mirip Nazi.

Menteri Kehakiman Israel Yariv Levin menyebut tindakan jaksa ICC aib moral terbesar dalam sejarah umat manusia.

Levin menyinggung ini adalah bagian ekspresi anti-Semitisme modern dan kebencian terhadap orang-orang Yahudi di mana pun mereka berada.

Warga Palestina memeriksa kerusakan sebuah bangunan di kota Nuseirat di Jalur Gaza tengah pada 18 April 2024, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas. (Photo by AFP) (AFP/-)

Sementara Benyamin Netanyahu mengomentari langkah jaksa ICC sebagai kemarahan politik, dan ia bertekad melanjutkan operasinya di Gaza sampai Hamas dihancurkan.

Sponsor utama Israel, AS juga langsung memberi pembelaan maksimal. Presiden AS Joe Biden mengutuk tindakan ICC.

“Biar saya perjelas, bertentangan dengan tuduhan terhadap Israel yang dibuat oleh Mahkamah Internasional, yang terjadi bukanlah genosida. Kami menolaknya,” kata Biden.

Ketua DPR AS Mike Johnson, anggota Partai Republik dari Louisiana, menyebut tindakan ICC memalukan dan melanggar hukum.

Kongres AS bertekad akan menyusun peraturan hukum yang bisa memberi sanksi hukum terhadap ICC.

Rancangan UU itu telah diperkenalkan Tom Cotton, anggota kongres Republik asal Arkansas pada Februari 2023.

Sementara Afrika Selatan menyambut gembira upaya jaksa ICC meminta surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin Israel dan Hamas ini.

Kehadiran ICC sebagai pengadilan internasional untuk kasus-kasus spesifik kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan lain, memang merisaukan negara-negara tertentu.

AS menarik diri dari Statuta Roma karena khawatir bisa berdampak negative, ketika operasi-operasi militer AS di berbagai wilayah memicu persoalan hukum akibat kejahatan yang dilakukan para pemimpin politik dan militernya.

Sebagai contoh di Irak dan Afghanistan, laporan-laporan kejahatan perang dilakukan personal militer AS terhadap penduduk sipil.

Ini menerbitkan kengerian di kalangan pemimpin AS, kejahatan-kejahatan ini akan dijangkau oleh tangan ICC atas laporan negara atau pihak yang diintervensi pasukan AS.

Rusia juga menarik diri dari Statuta Roma (ICC), juga kurang lebih karena alasan dan pertimbangan yang sama.

Alhasil, negara-negara yang tidak terikat dengan ICC, merasa bakal lebih aman karena menganggap ada di luar yurisdiksi ICC.

Posisi mereka ini menjadikan setiap kejahatan perang yang dilakukan pemimpin dan personal militernya seperti tidak akan terjangkau hukum.

Ada semacam tindakan-tindakan kejahataan perang dan kejahatan kemanusiaan yang mendapatkan impunitas karena dilindungi negaranya.

Di Afghanistan dan Irak, pilot-pilot helikopter Apache AS pernah terekam melakukan penyerangan membabibuta dan pembunuhan massal terhadap target-target masyarakat sipil.

Sampai hari ini, para pelakunya tidak mendapat hukuman sepadan atas kejahatan perang yang dilakukannya.

Begitu pula penyiksaan sistematis di penjara Abu Ghraib Irak oleh militer AS, juga tidak pernah terjangkau hukum perang internasional.

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, maka kemungkinan terbesar, tindakan ICC tidak akan pernah efektif menjangkau para tokoh yang diincar.

Keadilan nyaris absurd didapatkan lewat mekanisme peradilan internasional ini, sekalipun bukti-bukti faktual kejahatan mereka tak terbantahkan.

Kekuasaan dan kekuatan super power akan lebih berpengaruh. AS pasti akan melakukan segala daya upaya untuk mencegah perintah penangkapan ICC itu terjadi. Terutama usaha melindungi elite Israel.

Sebaliknya, akan dilakukan segala daya upaya untuk melemahkan, mendelegitimasi ICC, termasuk kemungkinan akan meriksak hakim dan jaksa penuntut ICC.

Kekuatan dan kekuasaan mereka masih lebih besar dari ICC, dan bahkan PBB yang disepakati sebagai organisasi tertinggi di dunia.

Realitanya, mahkamah kejahatan perang hanya bisa efektif setidaknya dalam dua konteks. Pertama, digelar oleh pihak yang memenangkan perang.

Kedua, diterapkan di negara-negara dunia ketiga yang tidak memberi dampak apa-apa ke negara-negara besar lain di dunia.

Contoh pertama terjadi di Jerman, ketika pasukan AS serta sekutu Eropa dan Rusia mengalahkan Nazi Jerman.

Nyaris semua  pemimpin militer dan Nazi Jerman diadili di pengadilan Nurenberg, dan dijatuhi hukuman mati dan hukuman berat lainnya atas dakwaan genosida.

Contoh kedua terjadi di bekas Yugoslavia dan beberapa konflik berdarah di Afrika. Eks pemimpin Serbia Slobodan Milosevic diadili di ICC dan meninggal di tahanan saat proses hukum berlangsung.

Contoh berikutnya, genosida di Rwanda yang pengadilan kejahatan internasionalnya digelar di Tanzania.

Seorang tokoh yang diyakini penganjur genosida etnis Tutsi oleh Hutu, Theoneste Bagosora, diadili dan dijatuhi hukuman berat dan akhirnya mati di penjara.

Dua contoh terakhir ini memperlihatkan bagaimana hukum kejahatan perang bisa diterapkan, hanya ke negara-negara yang lemah dan tidak berdampak ke negara besar.

Masih sulit membayangkan tangan mahkamah internasional ini bisa menyeret para tentara dan jenderal-jenderal serta pemimpin AS dalam kasus kejahatan perang di Irak, Yaman, Suriah, Afghanistan, dan banyak wilayah konflik lainnya.

Pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Baghdad Irak atas perintah Presiden AS Donald Trump, dieksekusi Pentagon dan CIA, adalah contoh kongkret.

Qassem bertamu ke Irak atas undangan resmi elemen sah di negara itu, dan saat penyerangan terjadi bukan di medan pertempuran.

Sampai hari ini tidak ada satu pun pelakunya yang terjangkau hukum. Ini contoh faktual bagaimana hukum internasional tidak berlaku bagi pihak yang sedang superior.

Namun, apapun situasinya, langkah ICC ini patut dihargai, karena menunjukkan setitik harapan ada prospek positif penegakan keadilan di tengah suramnya konflik Palestina-Israel.

Tak hanya tertuju ke Israel, penempatan tokoh-tokoh Hamas sebagai target penangkapan ICC juga menunjukkan upaya untuk meredam perjuangan fatalistik kelompok Hamas.

Tidak semua penduduk Palestina adalah anggota dan simpatisan Hamas. Hamas juga bukan representasi Palestina.

Sementara korban jiwa di pihak Palestina juga bukan semuanya anggota dan simpatisan Hamas. Ada banyak di antara mereka yang hanya ingin eksis sebagai manusia Palestina belaka.

Manusia Palestina yang hidup dan tumbuh sebagai bangsa merdeka, hidup berdampingan dengan siapa saja, termasuk warga Yahudi Israel.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini