News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

AS Pasang Rudal Jarak Jauh di Filipina, Target Berikutnya di Kalimantan

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rudal balistik China.

Ini aliansi baru di kawasan Pasifik yang memungkinkan AS menempatkan sistem rudal jarak jauhnya di wilayah Australia dan Selandia Baru.

Aliansi ini pula yang sempat memantik kemarahan Prancis, karena gagal merealisasikan kontrak proyek pengadaan kapal selam Australia dengan pabrikan Prancis.

AUKUS dibuat benar-benar untuk menghadapi perluasan pengaruh politik, ekonomi, dan militer China di Asia dan Pasifik Selatan.

Washington dengan demikian saat ini praktis sudah mengepung China, mulai dari Korsel, Jepang, Filipina, lalu ke Australia dan Selandia Baru.

Indonesia, sebagai negara terbesar dan memiliki kekuatan strategis di Asia Tenggara, kini berada di posisi yang sangat menentukan.

Kehadiran pangkalan rudal jarak menengah dan jarak jauh di Filipina, praktis menjadikan wilayah Indonesia ada di tepi medan perang yang sangat berbahaya.

Terlebih, sejak era Presiden Megawati, dilanjutkan SBY, lalu Jokowi, dan kemudian Prabowo, ada usaha memodernisasi alutsista militer kita.

Indonesia membeli jet-jet tempur buatan Rusia, seperti Sukhoi dan MiG. Di era SBY, Indonesia mendatangkan tank tempur utama Leopard-2 dari Jerman dan heli tempur Apache AH-64.

Pada masa Jokowi, TNI membeli pesawat angkut Hercules dari AS, jet tempur Rafale dari Prancis, dan sempat akan memborong jet tempur Mirage-2000 dari Qatar.

Belanja militer Indonesia ini memicu kekhawatiran negara-negara sekitar, karena dianggap mendorong perlombaan senjata di Asia Tenggara.

Namun, Jakarta meyakinkan, Indonesia masih mempertahankan politik luar negeri bebas aktif, yang artinya tidak akan ikut blok militer manapun.

Modernisasi alutsista TNI diyakinkan karena pertimbangan kekuatan yang dimiliki sudah semakin tua, dan hanya untuk kepentingan pertahanan negara.

Dalam posisi politik luar negeri bebas aktif ini, maka usaha AS menempatkan sistem rudal jarak menengah dan jauhnya di Kalimantan, hamir mustahil digelar di wilayah Republik Indonesia.

Foto yang diambil pada tanggal 22 September 2023 ini menunjukkan sebuah perahu kayu, dengan nelayan Filipina Arnel Satam di dalamnya, ditarik oleh kapal penjaga pantai Tiongkok setelah ia dicegat karena mencoba memasuki Scarborough Shoal di perairan yang disengketakan di Laut Cina Selatan. (TED ALJIBE / AFP)

Dua opsi tingga di wilayah Malaysia atau Brunei Darusallam. Namun kemungkinan kuat kedua negara ini juga akan menolak atau menghindari pendekatan Washington.

Membayangkan peta konflik Asia di masa depan memang ngeri-ngeri sedap. Kehadiran sistem rudal AS di Filipina menjadikan tensi politik di Laut China Selatan akan meninggi.

Filipina memiliki sengketa dan klaim wilayah di Laut China Selatan, dan berhadapan langsung dengan China. Sengketa wilayah ini sewaktu-waktu bisa memantik perang terbuka.

Sementara Indonesia ada di tepi wilayah konflik Laut China Selatan, dan sesekali terlibat gesekan dengan armada penjaga lepas pantai China di dekat Natuna.

Perang Asia Raya dan Pasifik Selatan pada era Perang Dunia II memberi gambaran suram dari rentannya konflik di wilayah ini.

Pada masa ini, China belum menjadi negara, karena baru menyatu pada 1 Oktober 1949 saat Partai Komunis China memimpin revolusi.

China sebelumnya berbentuk kerajaan, dikuasai kolonialis imperialis Prancis dan Inggris, dijajah Kekaisaran Jepang, terjebak perang saudara, sebelum disatukan kekuatan komunis.

Perang Asia Timur Raya yang meluas hingga Pasifik Selatan disulut agresifitas imperialisme Kekaisaran Nippon.

Pasukan AS dan Inggris yang sempat kuat di Asia Tenggara, disapu bersih dan mundur ke Australia di masa puncak ekspansi Jepang.

Serangan Pearl Harbour oleh pasukan laut Jepang, akhirnya membalikkan situasi. AS menghimpun kekuatan penuh untuk menyerang balik Jepang.

Bom atom di Nagasaki Hiroshima mengakhiri perang. Jepang menyerah, dan dimulailah era hegemoni AS di wilayah ini.

Setelah Republik Rakyat Tiongkok berdiri, perlahan dan pasti China membangun ekonomi, politik, dan akhirnya militer.

Hanya dalam tempo 75 tahun, China kini mampu mengimbangi supremasi AS dan sekutunya. Menggentarkan semua lawan-lawan politiknya.

Lalu, apakah penggelaran senjata di Asia Pasifik oleh AS ini akan memicu perang akbar? Apa pemicunya?

Kalangan penyeru perang di Washington maupun Pentagon, sudah menyiapkan skenario terburuk di 5 hingga 10 tahun yang akan datang.

Artinya, di rentang masa inilah, konfrontasi AS melawan China akan berpeluang terjadi.

Konflik Rusia-Ukraina memberi ilustrasi, sesuatu yang mula-mula seperti mustahil, akhirnya terbukti.

Dulu banyak yang tidak yakin akan pecah perang besar di Ukraina. Ternyata provokasi NATO ke timur Eropa memaksa Rusia keluar kandang.

Hal sama sangat mungkin terjadi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Provokasi terus menerus AS dan sekutunya di wilayah ini, bisa merangsang China melawannya.

Jika ini terjadi, maka kita semua di Indonesia akan menyaksikan model pertempuran modern melibatkan dua superpower, berseliwerannya rudal-rudal jarak jauh di langit Asia.

China memiliki rudal hipersonik dan balistik yang mampu menjangkau wilayah AS, apalagi Jepang, Korsel, Filipina, Australia dan Selandia Baru.

Sungguh gambaran pemandangan yang mungkin absurd buat sebagian pihak, memuaskan bagi sebagian pihak lainnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini