TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyatakan, AS tengah memperkuat strategi barunya dalam pertarungan geopolitik di Eropa dan Asia Pasifik.
Langkah baru AS menurut Lavrov adalah menempatkan rudal jarak menengah dan jarak jauh di Asia Tenggara, guna menantang meluasnya pengaruh China di kawasan ini.
Titik penempatan itu ada di Filipina. Sistem rudal jarak menengah AS itu dikenal sebagai Sistem Senjata Typhon, dipasang di Luzon pada April 2024.
Menurut Lavrov, inilah jawaban mengapa AS menarik diri dari Perjanjian Nuklir Jarak Menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty).
Ini pakta perjanjian yang sebelumnya mengikat AS dan Rusia (representasi eks Soviet), guna mengerem perlombaan rudal nuklir jarak menengah dan jauh.
AS dan Rusia (Soviet) menyetujui INF pada 1987. Perjanjian INF melarang AS dan Rusia (Soviet) memiliki rudal balistik berjangkauan 500 hingga 5.500 kilometer.
Setelah AS sepihak menarik diri dari INF Treaty, Rusia otomatis juga menyatakan pakta itu tidak berlaku untuk mereka.
Selain Filipina, AS juga akan memperluas titik penempatan rudal di negara lain di Asia Tenggara. Pulau Kalimantan salah satu yang diincar.
Baca juga: AS Tumpuk Kapal Induk di Laut China Selatan, Endus Manuver Beijing Jelang Pelantikan Presiden Taiwan
Baca juga: Kapal Tiongkok Tembaki Kapal Filipina Pakai Meriam Air, Laut China Selatan Kembali Memanas
Baca juga: Persiapan Hadapi Serangan Musuh, Xi Jinping Rombak Pasukan Militer China
Negara mana yang akan dilobi Washington agar mengizinkan penempatan sistem rudalnya, belum diketahui pasti.
Pulau Kalimantan dimiliki tiga negara sekaligus, selain wilayah Indonesia ada Malaysia dan Brunei Darusallam.
Dua negara terakhir merupakan anggota Persemakmuran Inggris. Sementara negara di Asia lain yang sudah jadi sekutu dekat AS adalah Jepang, Korea Selatan, dan dalam batas tertentu Singapura.
Di Jepang dan Korsel, AS menempatkan pasukan perang dan memiliki pangkalan militer udara maupun laut.
Wilayah Asia Pasifik perlahan dan pasti, meningkat menjadi medan pertempuran politik dan terbuka konfrontasi militer pada skala yang belum terbayangkan.
Lantas, apa konsekuensi strategis agresif militer AS menempatkan sistem rudal jaraak menengah dan jauhnya di wilayah ini?
Bagaimana sikap Rusia? Apa pula reaksi China, sebagai kekuatan ekonomi dan militer yang kini mampu menandingi supremasi AS?
Menlu Rusia Sergey Lavrov selain mengingatkan perkembangan di Asia Tenggara, juga menyebutkan langkah serupa dilakukan AS di Denmark.
Artinya, strategi geomiliter AS juga sedang dikembangkan di Eropa Utara, dan ini sejalan dengan upaya NATO memperkuat cengkeraman di Eropa Timur.
Di wilayah benua biru ini, AS menempatkan Rusia sebagai musuh utamanya. Narasi Rusia akan membangkitkan kekaisaran era lama yang akan merebut Eropa, terus dibesar-besarkan.
“Amerika awalnya menarik diri dari perjanjian ini (IRN) untuk menjajaki wilayah baru (penempatan), termasuk Filipina,” kata Lavrov dalam pertemuan para diplomat di Moskow.
“Saya yakin negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik juga akan diminta untuk menyediakan wilayah yang ramah untuk senjata serupa,” lanjut Lavrov.
Meski berulangkali Kremlin menegaskan tidak akan ada perlombaan senjata seperti era Soviet, politik agresif Washington ini mau tak mau bakal memaksa Rusia melakukan hal sama.
Paling tampak di perkembangan terbaru adalah kerjasama Rusia dan Belarusia untuk menyiapkan sistem peluncuran rudal berkemampuan hulu ledak nuklir.
Jelas ini langkah nyata Rusia menggunakan kemampuan senjata pemusnah massal yang mereka miliki, sebagai kekuatan penggertak atau penangkal.
Ini lampu kuning untuk kawasan Eropa, yang selama dua tahun terakhir menegang akibat perang di Ukraina.
Di antara anggota NATO dan Uni Eropa, terlihat beberapa negara sangat agresif menggunakan perang Ukraina sebagai proksi politik dan militer.
Selain AS, ada Prancis, Inggris, Ceko, Slovenia, Estonia, Polandia, Latvia, dan Lithuania. Mereka getol mengirim senjata dan menentang secara keras apapun langkah Rusia di Ukraina.
Sebagian negara-negara Baltik demikian keras memusuhi Rusia, karena bayang-bayang kekhawatiran politik ekspansionis era tsar Rusia.
Nah, apa faktor pemantik demikian agresifnya politik militer AS di Asia Pasifik? Kemajuan China adalah faktor utama yang mendorongnya.
AS merasa superioritasnya terancam. Tidak hanya di Asia, kemerosotan hegemoni AS juga tergerus di Afrika, Timur Tengah, dan sebagian Amerika Selatan.
Sebagian di Pasifik, China juga dianggap telah melebarkan pengaruh ke negara-negara kecil Pasifik Selatan, dan itu dirasa membahayakan dominasi AS.
Masalah Taiwan, yang sudah berlangsung sekian lama, hanya alasan klasik yang mungkin secara strategis jadi dalih kuat AS untuk memperkuat kehadirannya di Asia.
Beijing menganggap Taiwan adalah satu di antara provinsinya yang mandiri di daerah sangat luas yang dimiliki China.
Kebijakan politik AS adalah mengakui ‘Satu China’, tapi ambiguitas mereka adalah mempersenjatai Taiwan guna antisipasi jika pasukan Beijing merebut pulau itu.
China pada titik sekarang ini, memang sudah memasuki fase luar biasa mengimbangi hegemoni dan kekuatan militer AS.
Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) sudah memiliki tiga kapal induk, satu eks Soviet dan dua terbaru dibangun industri militer China secara mandiri.
Kapal fregat, kapal jelajah, kapal perusak China juga dibangun secara mandiri dan jumlahnya banyak. Begitu pula kekuatan darat mereka seperti tank, roket ganda, lapis baja dan lain sebagainya.
China sudah memproduksi rudal hipersonik berkemampuan nuklir. Jet-jet tempur termodern China setara jet tempur F-35 dan F-22 Raptor milik AS.
Pesawat intelijen, pesawat angkut, dan helikopter angkut maupun tempur buatan China sudah menyamai skuadron udara AS.
Jumlah personil militer China lebih banyak ketimbang yang dimiliki AS, dilengkapi aneka persenjataan modern, termasuk drone dan robot tempur.
Pembeda paling menyolok, kekuatan militer China ini belum teruji di medan tempur sebenarnya. Sebaliknya, pasukan AS sudah sangat terlatih di berbagai jenis medan pertempuran.
Jumlah pangkalan militer AS di luar negeri juga belum bisa ditandingi kekuatan manapun, termasuk China. Begitu pula jumlah armada kapal induk, AS masih lebih superior.
Meski sejak lama memiliki kedekatan dengan Australia dan Selandia Baru, AS bersama Inggris memformalkan aliansi mereka dalam AUKUS.
Ini aliansi baru di kawasan Pasifik yang memungkinkan AS menempatkan sistem rudal jarak jauhnya di wilayah Australia dan Selandia Baru.
Aliansi ini pula yang sempat memantik kemarahan Prancis, karena gagal merealisasikan kontrak proyek pengadaan kapal selam Australia dengan pabrikan Prancis.
AUKUS dibuat benar-benar untuk menghadapi perluasan pengaruh politik, ekonomi, dan militer China di Asia dan Pasifik Selatan.
Washington dengan demikian saat ini praktis sudah mengepung China, mulai dari Korsel, Jepang, Filipina, lalu ke Australia dan Selandia Baru.
Indonesia, sebagai negara terbesar dan memiliki kekuatan strategis di Asia Tenggara, kini berada di posisi yang sangat menentukan.
Kehadiran pangkalan rudal jarak menengah dan jarak jauh di Filipina, praktis menjadikan wilayah Indonesia ada di tepi medan perang yang sangat berbahaya.
Terlebih, sejak era Presiden Megawati, dilanjutkan SBY, lalu Jokowi, dan kemudian Prabowo, ada usaha memodernisasi alutsista militer kita.
Indonesia membeli jet-jet tempur buatan Rusia, seperti Sukhoi dan MiG. Di era SBY, Indonesia mendatangkan tank tempur utama Leopard-2 dari Jerman dan heli tempur Apache AH-64.
Pada masa Jokowi, TNI membeli pesawat angkut Hercules dari AS, jet tempur Rafale dari Prancis, dan sempat akan memborong jet tempur Mirage-2000 dari Qatar.
Belanja militer Indonesia ini memicu kekhawatiran negara-negara sekitar, karena dianggap mendorong perlombaan senjata di Asia Tenggara.
Namun, Jakarta meyakinkan, Indonesia masih mempertahankan politik luar negeri bebas aktif, yang artinya tidak akan ikut blok militer manapun.
Modernisasi alutsista TNI diyakinkan karena pertimbangan kekuatan yang dimiliki sudah semakin tua, dan hanya untuk kepentingan pertahanan negara.
Dalam posisi politik luar negeri bebas aktif ini, maka usaha AS menempatkan sistem rudal jarak menengah dan jauhnya di Kalimantan, hamir mustahil digelar di wilayah Republik Indonesia.
Dua opsi tingga di wilayah Malaysia atau Brunei Darusallam. Namun kemungkinan kuat kedua negara ini juga akan menolak atau menghindari pendekatan Washington.
Membayangkan peta konflik Asia di masa depan memang ngeri-ngeri sedap. Kehadiran sistem rudal AS di Filipina menjadikan tensi politik di Laut China Selatan akan meninggi.
Filipina memiliki sengketa dan klaim wilayah di Laut China Selatan, dan berhadapan langsung dengan China. Sengketa wilayah ini sewaktu-waktu bisa memantik perang terbuka.
Sementara Indonesia ada di tepi wilayah konflik Laut China Selatan, dan sesekali terlibat gesekan dengan armada penjaga lepas pantai China di dekat Natuna.
Perang Asia Raya dan Pasifik Selatan pada era Perang Dunia II memberi gambaran suram dari rentannya konflik di wilayah ini.
Pada masa ini, China belum menjadi negara, karena baru menyatu pada 1 Oktober 1949 saat Partai Komunis China memimpin revolusi.
China sebelumnya berbentuk kerajaan, dikuasai kolonialis imperialis Prancis dan Inggris, dijajah Kekaisaran Jepang, terjebak perang saudara, sebelum disatukan kekuatan komunis.
Perang Asia Timur Raya yang meluas hingga Pasifik Selatan disulut agresifitas imperialisme Kekaisaran Nippon.
Pasukan AS dan Inggris yang sempat kuat di Asia Tenggara, disapu bersih dan mundur ke Australia di masa puncak ekspansi Jepang.
Serangan Pearl Harbour oleh pasukan laut Jepang, akhirnya membalikkan situasi. AS menghimpun kekuatan penuh untuk menyerang balik Jepang.
Bom atom di Nagasaki Hiroshima mengakhiri perang. Jepang menyerah, dan dimulailah era hegemoni AS di wilayah ini.
Setelah Republik Rakyat Tiongkok berdiri, perlahan dan pasti China membangun ekonomi, politik, dan akhirnya militer.
Hanya dalam tempo 75 tahun, China kini mampu mengimbangi supremasi AS dan sekutunya. Menggentarkan semua lawan-lawan politiknya.
Lalu, apakah penggelaran senjata di Asia Pasifik oleh AS ini akan memicu perang akbar? Apa pemicunya?
Kalangan penyeru perang di Washington maupun Pentagon, sudah menyiapkan skenario terburuk di 5 hingga 10 tahun yang akan datang.
Artinya, di rentang masa inilah, konfrontasi AS melawan China akan berpeluang terjadi.
Konflik Rusia-Ukraina memberi ilustrasi, sesuatu yang mula-mula seperti mustahil, akhirnya terbukti.
Dulu banyak yang tidak yakin akan pecah perang besar di Ukraina. Ternyata provokasi NATO ke timur Eropa memaksa Rusia keluar kandang.
Hal sama sangat mungkin terjadi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Provokasi terus menerus AS dan sekutunya di wilayah ini, bisa merangsang China melawannya.
Jika ini terjadi, maka kita semua di Indonesia akan menyaksikan model pertempuran modern melibatkan dua superpower, berseliwerannya rudal-rudal jarak jauh di langit Asia.
China memiliki rudal hipersonik dan balistik yang mampu menjangkau wilayah AS, apalagi Jepang, Korsel, Filipina, Australia dan Selandia Baru.
Sungguh gambaran pemandangan yang mungkin absurd buat sebagian pihak, memuaskan bagi sebagian pihak lainnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)