Namun hasil survei Litbang Kompas menunjukkan dukungan ke Kaesang hanya 1 persen.
Menurut informasi kawan saya yang juga dari lembaga survei yang lain, 1 persen buat Kaesang itu tidak berubah dari berbulan-bulan yang lalu.
Bisa jadi warga Jakarta yang sudah cerdas tidak mau terpengaruh segala manuver dan gimik basa-basi dari "ketua umum karbitan" yang baru 2 hari menjadi anggota partai, tiba-tiba "simsalabim" sudah menjadi ketua umumnya. Terus mau dipaksakan memimpin Jakarta?
Putusan MA yang mengubah usia pencalonan cagub dan wagub, mau diakui atau tidak, jelas-jelas sebagai jalan untuk memuluskan jalan Kaesang, seperti halnya putusan MK yang memuluskan jalan kakaknya: Gibran.
Banyak yang menganggap bahwa hukum sudah dipolitisasi agar tunduk pada Dinasti Penguasa.
Gibran yang tiba-tiba mundur dari jabatan Wali Kota Solo yang kemudian mau tinggal di Jakarta dan diberitakan mau pindah domisili dan jadi pemilih di Jakarta, tak sedikit yang menganggapnya bagian strategi totalitas untuk mendongkrak Kaesang.
Saya yakin warga Jakarta cerdas dan bernurani bersih tidak akan membiarkan kota tercintanya jatuh pada permainan politik Dinasti Penguasa dengan mempolitisasi hukum dan panggung uji coba politik demi kepentingan keluarga itu. Karena masa depan Jakarta menjadi taruhannya.
Anies "Dikunci" PKS
Nama Anies disebut-disebut PDI Perjuangan berdasarkan realitas politik masyarakat Jakarta. DPD PDI Perjuangan Jakarta telah membuka usulan dari bawah dan mencermati suasana kebatinan warga Jakarta, maka itulah nama-nama yang diusulkan.
Menyebut nama Anies bukan tanpa resiko, mengingat Pikada Jakarta tahun 2016-2017 yang penuh dengan kontroversi dan menyisakan luka batin hingga polarisasi keras yang membelah warga Jakarta. Ada luka dan trauma.
Akhir nasib Ahok juga tragis, yang sama-sama kita tahu, namun Ahok tampak banyak belajar dari kejadian itu, sehingga dia dalam setiap kesempatan selalu menjelaskan bahwa dia telah berubah dan banyak belajar dari kejadian itu. Tanpa malu-malu, tanpa kemarahan, Ahok dengan penuh kesadarannya menerima dengan kelapangan hatinya.
Sikap Ahok itu tentu punya pengaruh besar pada pendukungnya. Kalau Ahok sudah menerima, tak ada marah dan dendam, buat apa kita memelihara marah dan dendam? Bukankah Jakarta masih membutuhkan perhatian untuk terus diperbaiki dan disempurnakan? "Let bygones be bygones" Yang Lalu Biarlah Berlalu.
Apalagi ada nama Charles Honoris yang diusulkan oleh DPD PDI Perjuangan Jakarta untuk mendampingi Anies bisa menjadi pertimbangan yang serius sebagai langkah "mengobati" luka akibat polarisasi sekaligus menambah kekuatan (di mana Anies terlihat lemah) yaitu wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara yang merupakan Dapil Charles Honoris sebagai Anggota DPR RI, yang pada tahun 2024 ini, terpilih kembali.
Apakah pasangan ini mau ditujukan sebagai "rekonsiliasi sosial" untuk mengobati "luka" akibat polarisasi Pilkada Jakarta sebelumnya? Harapannya memang seperti itu.
Prasetyo Edi Marsudi yang menjabat Kedua DPRD DKI Jakarta selama 2 periode (2014-2019) dan (2019-2024) juga tak kalah menarik dari sisi pengalamannya yang mendalam tentang seluk-beluk dan segala pesoalan Jakarta.