Melihat dinamika politik yang berubah dan bergeser begitu cepat, membuat konstelasi dan konfigurasi politikpun cepat berubah hanya dalam hitungan jam sesuai kepentingan politik.
Publik pun tidak mau kalah bahkan sudah menemukan pola gerakan untuk melawan setiap kesewenang-wenangan penguasa.
Karena itu dengan dukungan bukti-bukti hukum dan fakta-fakta sosial yang sudah "notoire feiten", lantas publik mulai menuntut agar MPR tidak melantik Gibran sebagai wapres dan turunkan Jokowi sebelum 20 Oktober 2024.
Secara konstitusi, MPR adalah pengemban fungsi representasi rakyat, ia sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Karena itu MPR bukanlah lembaga juru stempel hasil Pemilu dan juga bukan juru stempel Putusan MK dalam sengketa Pilpres.
Mengapa demikian? Karena MPR merupakan lembaga tinggi negara, ia merupakan lembaga penilai tertinggi dan terakhir sehingga memiliki wewenang untuk menilai kelayakan seorang Capres-Cawapres terpilih apakah layak dan beralasan hukum untuk dilantik atau tidak.
Jeda waktu 8 (delapan) bulan pasca pemilu Februari 2024 hingga tanggal 20 Oktober 2024, dimaknakan oleh pembentuk UU memberikan waktu bagi MPR memantau hal-hal buruk apa yang bakal muncul dan terjadi terhadap Capres-Cawapres terpilih dan MPR bisa membatalkan posisi Capres-Cawapres hasil pemilu.
Karena bisa saja dalam proses pemilu hingga proses sengketa pemilu, terjadi pelanggaran hukum tetapi lolos dari kecermatan instrumen politik dan hukum yang tersedia (KPU, BAWASLU, MK dan PTUN).
MPR harus melihat secara jernih bahwa hukum sudah tidak menjadi panglima, terdapat fakta yang notoire feiten bahwa ketika MK bersidang pada waktu lalu, Hakim-Hakim Konstitusi ditengarai berada dalam pengaruh kekuasan eksekutif lewat Dinasti Politik di MK.
Oleh karena itu sangat beralasan hukum MPR mendiskualifikasi Gibran dengan tidak melantik Gibran sebagai Wapres mendampingi Capres Prabowo Subianto.