News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Filsafat Lawan "Kedunguan" Berpikir, Bernalar Berdaya x Komunitas Bambu Buka Ruang Dialog Anak Muda

Editor: Brand Creative Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Acara Bernalar x Berdaya kolaborasi antara MudaBerdaya dan Komunitas Bambu, bertujuan memperkuat literasi filsafat di kalangan anak muda,

TRIBUNNEWS.COM -  Bernalar Berdaya kembali hadir di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, mengusung tema “Filosofi untuk Kehidupan yang Lebih Sehat.”

Acara ini merupakan kolaborasi antara MudaBerdaya dan Komunitas Bambu. Bertujuan memperkuat literasi filsafat di kalangan anak muda, acara ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta, mempertemukan berbagai narator dengan gagasan dan perspektif mendalam.

Acara dibuka oleh perwakilan MudaBerdaya dan Komunitas Bambu, yaitu Jihan Sarah dan Eka, yang menjelaskan bahwa kolaborasi ini terwujud berkat kesamaan visi untuk menyebarkan pengetahuan filsafat sebagai landasan berpikir kritis.

“Kolaborasi ini hadir karena kami percaya bahwa literasi dan diskusi adalah kunci menciptakan generasi muda yang berdaya,” ungkap Jihan. Eka menambahkan bahwa acara seperti ini penting untuk memberikan ruang diskusi dan bertukar pikiran secara terbuka.

Perlunya Berdialektika dan Berpikir Kritis untuk Melawan “Kedunguan”
Sesi pertama dibuka oleh Rocky Gerung dengan tema “Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol”, yang juga menjadi judul buku terbarunya yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.

Rocky menyoroti fenomena “kedunguan” tidak hanya berasal dari media sosial tetapi juga dari talkshow yang hanya mengejar sensasi tanpa substansi. Demokrasi seharusnya menjadi ajang pertukaran argumen, namun di Indonesia, ia justru menjadi ruang untuk transaksi politik dan relasi kuasa. 

Beliau mengkritisi feodalisme modern, yang menurutnya telah merusak meritokrasi di berbagai lapisan masyarakat. Kekuasaan sering kali didapat melalui transaksi politik daripada kompetensi, menciptakan kebingungan dan stagnasi dalam sistem sosial. 

Rocky juga menanggapi pertanyaan tentang mahasiswa yang ragu kembali ke Indonesia setelah belajar di luar negeri. Ia menekankan bahwa pilihan pulang atau tidak adalah soal tanggung jawab pribadi. Perubahan bisa dilakukan dari mana saja selama ada kesadaran dan komitmen.

Menutup sesinya, Rocky Gerung berpesan bahwa kita perlu berdialektika dan berani berpikir kritis agar masyarakat bisa keluar dari siklus kedunguan ini.

Lentera Gelap Tanpa Filsafat
Pada sesi kedua, Dr. Meutia Irina Mukhlis, salah satu pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, membawakan monolog dengan tema “Lentera Gelap tanpa Filsafat”.

Beliau menjelaskan bagaimana menurutnya filsafat memberikan nilai yang lebih bermakna dalam hidup. Menurutnya tanpa pemahaman filsafat, kita akan terjebak dalam ikatan materialisme yang walaupun terasa menarik, sesungguhnya hal-hal tersebut adalah hampa dan tidak memberikan kebahagiaan.

Dr. Meutia menekankan pentingnya menyeimbangkan rasionalitas dan emosi melalui filsafat agar kita terhindar dari kesalahan berpikir dan bias logika.

“Kritik yang baik harus objektif dan proporsional, bukan sekadar sentimen,” jelasnya. Ia juga mengingatkan bahwa perjuangan dan perubahan tidak selalu mudah, tetapi hal-hal paling bermakna seringkali hadir melalui proses yang sulit.

Mengelola Kekacauan untuk Mencapai Kebahagiaan
Sesi kemudian dilanjutkan oleh dr. Ryu Hasan dengan judul “Peta Mental Manusia dalam Kacamata Kedokteran Modern”. Beliau merupakan seorang ahli bedah syaraf yang juga dikenal sebagai pegiat sosial.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini