Tak Bersertifikat, Pekerja Konstruksi Asal Indonesia Dibayar Murah di Malaysia
Di Malaysia, jika pekerja konstruksi tidak memiliki sertifikat, hanya digaji 70 persen dari yang seharusnya.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Mahalnya biaya sertifikat di Malaysia, menjadi kendala yang dihadapi pekerja konstruksi asal Indonesia, sehingga tak jarang mereka dibayar murah.
Di negeri jiran tersebut, tenaga kerja konstruksi bersertifikat akan mendapat gaji tinggi. Sebaliknya, jika tidak memiliki sertifikat, hanya digaji 70 persen.
"Di sini biayanya Rp 1,5 juta, di sana bisa Rp 8 juta. Jadi memang kita harus ikuti aturannya dan itu kita biayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," ujar Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib, di Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR), Kamis (31/3/2016).
Untuk itu, berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah berkoordinasi dengan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di Malaysia.
Kerjasama ini meliputi penerbitan sertifikasi tenaga konstruksi di Indonesia yang bisa berlaku di Malaysia.
Menurut Yusid, jumlah tenaga konstruksi Indonesia di Malaysia cukup besar, meskipun ia tidak mengetahui angka pastinya.
Di Indonesia, tenaga kerja yang sudah bersertifikasi sangat kecil jumlahnya, yaitu hanya 6 persen dari total 7,2 juta tenaga kerja.
Yusid mempertimbangkan untuk menarik lebih banyak tenaga kerja berserfitikat dengan memberlakukan surat pengakuan.
"Kami akan buat surat dari Menteri PUPR ke satuan kerja untuk menilai pekerja," kata Yusid.
Tenaga kerja yang perlu sertifikat antara lain mandor, tukang, dan kepala tukang. Yusid mencontohkan, kerja seorang mandor yaitu mengarahkan tukang-tukang.
Jika pekerjaannya baik, mandor ini akan menerima surat pengakuan. Nantinya, mandor tersebut tidak perlu lagi menjalani tes yang panjang untuk mendapatkan sertifikat karena kinerjanya sudah dinilai layak.
Penulis: Arimbi Ramadhiani