Pertumbuhan Industri Gula Relatif Lambat
Produksi Gula Kristal Putih (GKP) yang diproduksi dengan bahan baku tebu dari perkebunan tebu dalam negeri mengalami peningkatan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produksi Gula Kristal Putih (GKP) yang diproduksi dengan bahan baku tebu dari perkebunan tebu dalam negeri mengalami peningkatan, namun pertumbuhannya relatif lambat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Faiz Ahmad mengungkapkan, produksi GKP pada 2006 hingga 2010 mengalami pertumbuhan hanya 0,5 persen per tahun.
Padahal, pada rentang waktu dari 2001 hingga 2005 pertumbuhan produksi tumbuh sebanyak 6,4 persen per tahun.
"Kemudian pada 2011 sampai dengan 2015 meningkat lagi 2 persen dengan rata-rata produksi selama lima tahun terakhir hanya 2,5 juta ton pertahunnya. Jumlah itu hanya sedikit meningkat dari rata-rata produksi pada 2006 sampai 2010 sebesar 2,37 juta ton per tahun," ujar Faiz dalam keterangan tertulis, Jakarta, Senin (8/8/2015).
Maka itu, menurut dia impor gula masih diperlukan mengingat produksi GKP tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, termasuk industri.
Melalui industri gula rafinasi, pasokan yang dihasilkan menjadi seimbang bagi kebutuhan konsumsi maupun industri dalam negeri.
"Kadang-kadang, untuk memanfaatkan kapasitas terpasang, industri gula berbasis tebu diizinkan mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi GKR (Gula Kristal Rafinasi). Impor langsung GKR harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri makanan, minuman dan farmasi," ungkapnya.
Pengamat ekonomi Indonesia Research & Strategic Analysis Faisal basri menyatakan, disparitas harga di pasar global dan domestik untuk komoditas di sektor agro seperti gula masih sangat tinggi.
Untuk harga komoditas gula di pasar global trennya turun USD 0,43 sedangkan harga di pasar domestik justru mengalami kenaikan dengan rata-rata harga jual sebesar Rp 15 ribu per kg.
"Disparitas ini merancang untuk impor ilegal dan yang disalahkan pemerintah akibat rembesan gula rafinasi adalah produsen gula rafinasi," kata dia.
Saat ini, gula memberikan kontribusi ketiga terbesar yang menentukan kemiskinan dalam inflasi. Pertama beras, kedua rokok kretek, ketiga gula pasir sebagai pembentuk inflasi di Indonesia.
"Tertinggi di antara Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand. Sejak 2012 produksi gula kristal putih relatif tidak bertambah," papar dia.
Faisal menilai, sebaiknya kebijakan industri gula nasional lebih memperhatikan aspek ketahanan pangan. Ketersediaan gula dengan jumlah cukup pada harga kompetitif sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan daya saing perekonomian.
"Pemerintah harus mendorong pertumbuhan produksi gula kristal putih melalui penyediaan subsidi baik bibit dan input produksi lain, pembiayaan peremajaan tanaman dan penyuluhan dan bimbingan bagi petani," pungkas Faisal.