Pemerhati: Kaldera Toba Harus Dilihat Sebagai Tantangan dan Peluang
Yang harus dilakukan setelah penetapan Kaldera Toba, pertama adalah konservasi, kedua bagaimana mengembangkan masyarakat di kawasan Danau Toba
Penulis: Johnson Simanjuntak
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Danau Toba yang terbentuk akibat letusan gunung merapi, adalah warisan dunia. Kenapa disebut warisan dunia? Karena menurut penelitian ilmiah ketika Gunung Toba meletus, dua pertiga penduduk bumi ini musnah.
"Itu penelitian ilmiah, bahkan bisa jadi sejarah DNA ditentukan letusan Gunung Toba ini. Ketika Danau Toba terbentuk, artinya ada rantai DNA yang terputus. Sejarah terbentuknya Danau Toba sudah begitu dahsyat kalau dibikin narasinya. Jadi Danau Toba jangan hanya dilihat sebagai danau yang indah, tapi sejarah pembentukannya juga sangat dahsyat, baik secara ilmiah maupun secara geologis," tukas Sanggam Hutapea.
Danau Toba ini harus dikonservasi, kalau kita bicara konservasi, lanjut Sanggam, maka kita bicara juga pendukung-pendukung Danau Toba, seperti keadaan hutan, keanekaragaman hayati kesejahteraan penduduk lokal, termasuk ritual dan nilai budaya di kawasan Danau Toba yang harus dikonversasi.
Dari sisi masyarakat, penduduk lokal, Sanggam berpendapat penetapan Unesco ini harus dilihat sebagai peluang, yakni peluang hidup untuk lebih sejahtera.
Untuk mendapat peluang itu, menurut Sanggam, masyarakat lokal harus difasilitasi pemerintah daerah, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan industri pariwisata di Danau Toba. Jika Pemerintah tidak memfasilitas masyarakat, tentu masyarakat akan susah menangkap peluang itu.
Perlu diketahui, tambah Sanggam Hutapea, infrastruktur ke kawasan Danau Toba dari berbagai daerah seperti, Binjai, Medan, Rantau Parapat, Tebing Tinggi, dan daerah lain akan selesai paling lambat Tahun 2023.
Ketika infrastruktur itu selesai, Sanggam menyakini arus wisatawan lokal ke Danau Toba akan besar sekali. Pasalnya jarak tempuh ke kawasan Danau Toba sudah semakin dekat.
Selama ini, akibat belum adanya infrastruktur, lanjut Sanggam, yang dikenal sebagai daerah wisata berakhir pekan bukan Danau Toba, tetapi Brastagi. Maka dengan selesainya infrastruktur itu nanti akan menjadikan Danau Toba sebagai kawasan wisata berakhir pekan, sebab jarak tempuhnya sudah dekat dan terjangkau.
Menurut Sanggam, membantu masyarakat sekitar kawasan Danau Toba tidak perlu memberikan uang, tetapi bagaimana Pemerintah Daerah menggandeng BUMN-BUMN atau perusahaan-perusahaan besar untuk membenahi lokasi wisata, sepert pembangunan toilet, toko souvenir, tempat parkir, mengemas produk produk lokal, dan pengadaan tempat kuliner.
" Jika Pemerintah daerah pro aktif merangkul BUMN-BUMN saya kira hal ini bukanlah hal yang susah. Perlu diingat bahwa membangun pariwisata, pemerintah daerah harus proaktif. Pemerintah harus lebih kreatif karena salah satu kunci keberhasilan pariwisata adalah krertivitas, termasuk begaimana mereka kreatif mengemas produk produk lokal," tegas Sanggam Hutapea.
Salah satu contoh kreatif yang diutarakan Sanggam Hutapaea, yakni bagaimana mengemas narasi untuk mengkisahkan Tugu-tugu Marga yang ada di Tapanuli menjadi obyek wisata menarik bagi wisatawan.
Tugu-tugu marga itu harus dinarasikan sebab kalau hanya sekedar tugu tidak tertarik orang. Bayangkan bagaimana orang akan tertarik jika dinarasikan bahwa tugu marga itu sebagai catatan-catatan, dimana dengan keberadaan Tugu itu maka satu marga Batak akan mengetahui silsilahnya hingga 17 generasi.
Tak banyak suku di dunia ini yang punya catatan silsilah hingga 17 genarasi. Ini yang harus dinarasikan, harus dijelaskan sehingga menarik bagi wisatawan untuk mengetahui.
Terkait sisi promosi Danau Toba, Sanggam Hutapea mengingatkan bahwa sudah hampir 20 tahun Danau Toba tidak pernah lagi diperhatikan Pemerintah sebelum Presiden Jokowi. Maka, sebenarnya sudah 20 tahun agenda pariwisata dunia melupakan Danau Toba.