Catatan Indef soal 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf: Dari Utang Luar Negeri hingga Inflasi yang Terlalu Rendah
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyoroti langkah pemerintah yang terus menambah utang di tengah situasi pandemi
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengkritisi permasalahan ekonomi yang terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, satu diantaranya terkait Utang Luar Negeri (ULN).
Ia mengutip data International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia yang mencatat ULN Indonesia mencapai 402 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Menkeu Klaim RI Lebih Baik dari Negara Lain soal Resesi, Ekonom Indef: Jangan Over Optimis
Bahkan ULN negara ini lebih besar dari negara anggota ASEAN lainnya, Thailand.
"Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN), yakni 402 miliar dolar AS. Beban ULN Indonesia jauh lebih besar dari Argentina, Afrika Selatan dan Thailand," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Selasa (20/10/2020) sore.
Ia menyoroti langkah pemerintah yang terus menambah utang di tengah situasi pandemi.
"Dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," kata Bhima.
Catatan dari Sektor Ekonomi
Pengamat Ekonomi dari Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mencatat, ada sejumlah permasalah di sektor ekonomi selama satu tahun masa pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.
Krisis pandemi
Pertama adalah masih tingginya penularan Covid-19 di masyarakat yang membuat mobilitas masyarakat menjadi rendah.
"Indonesia termasuk ke dalam 18 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia versi Worldometers. Tingginya kasus positif Covid-19 membuat mobilitas masyarakat rendah," kata Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (20/10/2020).
Bhima mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional mengalami penurunan hingga menyentuh level -5,32 persen akibat terlambatnya penanganan Covid19 yang dilakukan Pemerintah.
Sementara itu, Bhima menyebut, China yang merupakan negara asal pandemi mencatatkan pertumbuhan positif 3,2 persen di periode yang sama.
"Vietnam juga tumbuh positif 0,3 persen karena adanya respons cepat pada pemutusan rantai pandemi, dengan lakukan lockdown dan merupakan negara pertama yang memutus penerbangan udara dengan China," kata Bhima.
Utang luar negeri
Selain itu, Bhima juga menyoroti langkah pemerintah untuk terus menambah utang dalam bentuk valuta asing (valas) di tengah situasi pandemi.
"Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," ujar dia.
Bhima mengatakan, berdasarkan data International Debt Statistics 2021 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia tercatat menempati urutan ke-7 tertinggi di antara negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN).
Jumlah utang Indonesia adalah 402 miliar dollar Amerika Serikat, jauh lebih besar dari pada Argentina, Afrika Selatan dan Thailand.
Sementara itu, pemerintah pada tahun 2020 ini menerbitkan Global Bond sebesar 4,3 miliar dollar AS dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun.
"Artinya, pemerintah sedang mewariskan utang pada generasi masa depan," kata Bhima.
Dia menyebut, setiap satu orang penduduk Indonesia di era pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta.
Perhitungan itu didapat dari total utang pemerintah sebesar Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk.
Inflasi terlalu rendah
Di sisi lain, Bhima mengatakan terjadi penurunan level inflasi Indonesia, yang menjadi terlalu rendah karena adanya tekanan pada daya beli masyarakat.
"Deflasi bahkan terjadi dalam beberapa bulan dengan inflasi inti (core inflation) hanya 1,86 persen per September 2020," kata Bhima.
Dia menjelaskan, inflasi yang rendah berakibat pada harga jual barang yang tidak sesuai dengan ongkos produksi dari produsen.
Bahkan, Bhima menambahkan, tidak sedikit produsen yang menawarkan harga diskon agar stok tahun sebelumnya bisa habis terjual.
"Dalam jangka panjang jika inflasi tetap rendah maka produsen akan alami kerugian bahkan terancam berhenti beroperasi," ujar dia.
Imbas dari berhentinya operasi, akan berdampak pada pekerja.
Bhima mengatakan, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus mengalami kenaikan.
"Diperkirakan, jumlah karyawan yang di PHK dan dirumahkan mencapai 15 juta orang. Hasil survey ADB (Asian Development Bank) menunjukkan UMKM di Indonesia terus lakukan pengurangan karyawan setiap bulannya," kata Bhima.
Dia menyebut, situasi di tahun 2020 sangat berbeda dari krisis 1998 dan 2008, ketika PHK di sektor formal dapat ditampung di sektor informal/UMKM.
"Saat ini 90 persen UMKM membutuhkan bantuan finansial untuk memulai usahanya kembali," ujar dia.
Satu tahun yang akan datang
Bhima mengatakan, angka kemiskinan diperkirakan mencapai lebih dari 12-15 persen akibat jumlah orang miskin baru yang meningkat.
Data Bank Dunia mencatat terdapat 115 juta kelas menengah rentan miskin yang dapat turun kelas akibat bencana termasuk pandemi Covid-19.
Selain itu, Bhima juga menyebut, jurang ketimpangan antara orang kaya dengan orang miskin akan semakin melebar pasca pandemi Covid-19.
"Ketimpangan semakin meningkat karena orang kaya terus menabung di bank, dengan lebih sedikit membelanjakan uang nya. Sementara itu, masyarakat miskin tidak memiliki cukup tabungan," kata Bhima.
Dia juga menyoroti pemerintah dan DPR yang di tengah situasi pandemi justru mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi.
"Dengan draft yang berubah-rubah pasca paripurna DPR, serta implikasi dirilisnya 516 aturan pelaksana, UU Cipta Kerja membuat ketidakpastian regulasi di Indonesia meningkat," kata Bhima.
Sumber:
Setahun Jokowi-Ma'ruf, Berikut Ini Catatan dari Sektor Ekonomi