Isu Setiap Pemilik NIK Wajib Bayar Pajak, Dibantah Sri Mulyani Hingga Yasonna Laoly
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kabar kewajiban membayar pajak oleh setiap pemilik Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP adalah tidak benar.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kabar kewajiban membayar pajak oleh setiap pemilik Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP adalah tidak benar.
Seperti diketahui, di masyarakat muncul isu bahwa setelah memiliki NIK, setiap warga negara harus membayar pajak.
Seperti diketahui, fungsi NIK untuk perpajakan tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU HPP disahkan DPR RI di Sidang Paripurna, Kamis (7/10/2021).
Dengan begitu, NIK pada KTP bisa digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi wajib pajak orang pribadi. Namun, bukan berarti pemilik NIK harus membayar pajak?
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penambahan fungsi NIK menjadi NPWP tidak serta-merta membuat anak usia di atas 17 tahun wajib membayar pajak. Dia bilang, penarikan pajak hanya dilakukan kepada wajib pajak yang punya penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Ini untuk meluruskan mahasiswa baru lulus, belum kerja tapi punya NIK harus bayar pajak, (itu) tidak benar," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers UU HPP, Kamis (7/10/2021).
Wanita yang akrab disapa Ani ini menegaskan, pekerja ataupun wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 4,5 juta/bulan atau 54 juta per tahun tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh) sama sekali. Golongan ini masuk dalam golongan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Baca juga: NIK Gantikan NPWP setelah RUU HPP Disahkan, Menkumham: Tidak Semua Warga Wajib Bayar PPh
Adapun penghasilan yang kena pajak dalam UU HPP adalah minimal Rp 60 juta per tahun, lebih tinggi dari besaran penghasilan di UU sebelumnya, yakni Rp 50 juta.
"Kalau pendapatan mereka di bawah tidak kena pajak, dia tidak membayar pajak. Adanya UU HPP setiap orang yang punya pendapatan hingga Rp 4,5 juta perbulan, single, itu dia tidak kena pajak," beber Sri Mulyani.
Sedangkan untuk wajib pajak yang memiliki penghasilan Rp 60 juta per tahun, maka akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) dengan tarif 5 persen. Adapun untuk Rp 60 juta - Rp 250 juta akan dikenakan tarif pajak 15 persen dari penghasilan tersebut.
Di sisi lain, pihaknya menambah lapisan (bracket) PPh OP untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Masyarakat tajir ini alan dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen.
Semula UU PPh tidak mengatur besaran tarif pajak untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar. "Inilah yang disebut azas keadilan dan gotong royong. Jadi masyarakat setiap punya NIK tidak langsung bayar pajak. Kalau Kalau pasangan suami istri punya putra atau putri, setiap tanggungan diberikan Rp 4,5 juta per tahun maksimal 3 orang," pungkas Sri Mulyani.
Berikut ini lapisan tarif terbaru pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP).
- Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif pajak PPh 5 persen.
- Penghasilan di atas Rp 60 juta - Rp 250 juta kena tarif pajak PPh 15 persen
- Penghasilan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta kena tarif pajak PPh 25 persen.
- Penghasilan di atas Rp 500 juta - Rp 5 miliar kena tarif pajak PPH 30 persen.
- Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif pajak PPh 35 persen.
Itulah fakta tentang kewajiban membayar pajak dan penggunaan NIK untuk perpajakan. Jadi, jangan tertipu oleh isu yang menyebut bahwa pemilik NIK wajib membayar pajak.