Kemendag Curiga Minyak Goreng Ditimbun Masyarakat, DPR: Bisa Dicek, Bukan Ditebak-Tebak
Kecurigaan Kemendag terkait dugaan penimbunan minyak goreng masyarakat membuat DPR angkat bicara. DPR meminta Kemendag melakukan cek mendalam.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Kecurigaan Kementerian Perdagangan soal masyarakat yang menimbun minyak goreng sehingga menimbulkan kelangkaan membuat DPR RI angkat bicara.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai PDI-P, Deddy Yevri Sitorus menyatakan tidak masuk akal masyarakat justru yang dipersalahkan atas kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Menurut Deddy, kelangkaan sudah terjadi sejak dua bulan lalu sehingga dirinya menganggap tudingan masyarakat menimbun minyak goreng adalah membingungkan.
“Masalah ini sudah berbulan-bulan, sejak Januari kelangkaan sudah terjadi secara masif. Jadi menurut saya agak membingungkan kalau masyarakat yang dipersalahkan karena menimbun,” ujarnya, Selasa (8/3/2022) dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Warga Serang Banten Ajak Anak Demi Dapatkan Minyak Goreng Lebih dari Satu
Baca juga: Nusron Wahid: Pemerintah Harus Segera Larang Ekspor CPO untuk Hentikan Panic Buying Minyak Goreng
Kondisi kelangkaan seperti ini, kata Deddy, harus dijelaskan secara detail oleh Kemendag seperti di daerah mana saja penimbunan terjadi dan dilakukan oleh masyarakat.
Ia juga menduga apabila ditemukan masyarakat menimbun minyak goreng karena alasan panic buying tetapi juga harus dijelaskan di mana anomalinya.
“Itu kan bisa dicek, bukan ditebak-tebak,” jelasnya.
“Kalau pun benar ada sebagian masyarakat menimbun minyak goreng, menurut saya, jumlahnya tidak banyak karena barangnya langka,” imbuhnya.
Sehingga, Deddy pun mendesak agar Kemendag melakukan investigasi dan audit yang mendalam sebelum mengambil kesimpulan terkait kelangkaan minya goreng.
Selain itu, ia juga menyoroti mengenai klaim dari Kemendag di mana produksi minyak goreng diyakini mencukupi kebutuhan domestik jika dicek di tingkat produsen.
Klaim ini, kata Deddy, harus dibuktikan oleh pemerintah dengan memenuhi sebanyak-banyaknya minyak goreng di pasaran.
“Dengan demikian, masyarakat percayaa bahwa masalah sudah teratasi sehingga tidak melakukan pembelian berlebihan,” tuturnya.
“Kita juga ingin tahu penimbunan di level distributor dan agen, apakah hanya di dua tempat uyang disebutkan di media atau terjadi di tempat lain? Apakah itu bersifat kasuistis atau sistematik?” imbuh Deddy.
Sebelumnya, Kemendag menyatakan masih belum mengetahui penyebab pasti kelangkaan minyak goreng.
Dikutip dari Kompas.com, Kemendag mengklaim produksi minyak goreng yang berjalan saat ini seharusnya mencukupi kebutuhan domestik.
Lalu, Inspektur Jenderal Kemendag, Didid Noordiatmoko menjelaskan saat ini produksi minyak goreng sudah mendekati kebutuhan sehingga kelangkaan terhadap produk tersebut seharusnya dapat teratasi paling lambat akhir Maret 2022.
Kemudian, kata Didid, pemerintah telah berusaha menyelesaikan secara bertahap terkait persoalan produksi hingga distribusi minyak goreng agar dapat diperoleh masyarakat dengan mudah dengan harga terjangkau.
Namun, menurut Didid, muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan barang yakni panic buying.
Hal ini dikarenakan harga minyak goreng yang terjangkau sehingga membuat masyarakat membeli melebihi kebutuhan ketika mendapat kesempatan.
Padahal, katanya, hasil riset telah menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan.
Sehingga dengan hasil tersebut maka banyak rumah tangga menyetok minyak goreng.
“Tapi ini baru terindikasi,” ujarnya pada Minggu (6/3/2022).
Dirinya pun mencontohkan seperti produsen minyak goreng di Sumatera Selatan, saat ini sudah memproduksi 300 ton per bulan atau sudah mendekati kebutuhan daerah ini.
Lalu meskipun terdapat selisih diperkirakan hanya 10 persen.
Di sisi lain, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencatat harga minyak goreng di Indonesia tidak berbanding lurus dengan harga minyak sawit mentah atau CPO internasional.
Hal ini diungkapkan oleh Deputi Kajian dan Advokasi KPPU RI, Taufik.
Dirinya menambahkan, harga CPO internasional fluktuatif tergantung dengan pasokan dan permintaan sementara harga minyak goreng nasional cenderung dalam tren naik dalam jangka waktu yang panjang tanpa ada penurunan.
“Hasil temuan kami terjadi rigiditas pasar minyak goreng terhadap harga CPO,” ujarnya.
“Fluktuasi harga CPO di pasar internasional mengikuti pasokan dan permintaan di pasar internasional, tapi harga minyak goreng di pasar domestik relatif stabil dan cenderung naik jadi sangat berbeda pergerakannya,” imbuh Taufik.
Selanjutnya, KPPU juga mencatat dari total 18,42 juta ton CPO yang dikonversi menjadi minyak goreng, 5,7 juta kiloliter untuk kebutuhan dalam negeri dan penggunaan paling banyak adala untuk minyak goreng curah sebesar 2,4 juta kiloliter.
Sementara, kata Taufik, penggunaan minyak goreng digunakan untuk industri sebanyak 1,8 juta kiloliter, penggunaan minyak goreng premium sebesar 1,2 juta kiloliter, serta kemasan sederhana 231 ribu kiloliter.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Kompas.com/Muhammad Idris/Nicholas Ryan Aditya)
Artikel lain terakit Harga Minyak Goreng