Kalau Harga Pertalite Naik Beban Masyarakat Bertambah, Oligarki Nikmati Durian Runtuh Hasil Ekspor
DPR Khawatir, jika harga Pertalite naik dikhawatirkan bisa memicu kolapsnya masyarakat.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah diminta melakukan kajian secara cermat, seksama dan komprehensif dalam menyikapi kenaikan harga minyak dunia yang mempengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mengatakan, pemerintah jangan hanya melihat dari aspek keekonomian saja, tapi juga kondisi sosial, ekonomi, dan psikologi masyarakat dalam memutuskan kebijakan.
"Kalau ini terjadi (harga Pertalite naik), masyarakat bisa kolaps. Berarti negara tidak hadir, ini adalah gaya ekonomi liberalis bukan ekonomi Pancasila yang memihak wong cilik,” kata Mulyanto, Jumat (8/4/2022).
Baca juga: UPDATE Harga Pertamax dan Pertalite Hari Ini, 8 April 2022 di SPBU Seluruh Indonesia
Mulyanto mengingatkan, saat ini masyarakat dalam kondisi yang sangat berat, di mana ekonominya belum pulih dan lemahnya saya beli akibat pandemi serta mahalnya komoditas pangan.
Sehingga, kenaikan harga Pertalite dapat menambah beban masyarakat semakin berat, karena dampaknya akan ada kenaikan harga transportasi dan kenaikan barang-barang lainnya yang akhirnya memicu inflasi.
“Pemerintah kan hadir sebagai shock breaker berbagai kejutan ekonomi-politik dari luar negeri maupun dalam negeri, agar kondisi masyarakat aman dan stabil," kata Mulyanto.
"Tidak boleh semua market shock tersebut langsung dilepas dan dialirkan ke masyarakat, dengan menaikan harga-harga barang pokok masyarakat secara semena-mena,” sambungnya.
Sementara, kata Mulyanto, para pengusaha oligarki menikmati durian runtuh dari ekspor, karena harga CPO, batubara, tembaga, nikel dan lain-lainnya.
Baca juga: Pertamina Larang Konsumen Beli Pertalite Gunakan Jeriken, Aturan Ini Berlaku di Seluruh Indonesia
Bahkan hitungan kasarnya, penerimaan negara dari ekspor komoditas ini jauh melebihi defisit transaksi berjalan dari sektor migas Indonesia, sebagai negara net importer migas.
“Masak kita kalah dengan negara tetangga Malaysia, yang harga BBM nya lebih murah dan memihak rakyat kecil mereka. Kenapa juga kita masih melindungi oligarki dengan tidak menaikan pajak ekspor komoditas yang sedang booming secara progresif sesuai harga internasional?” tutur Mulyanto.