Harga Minyak Mentah Jatuh ke Level Terendah Sejak Januari, Analis Optimistis Ini Tren Sementara
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 5 persen pada Jumat lalu menuju ke level 79 dolar AS per barel.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Harga minyak mentah terus merosot pada perdagangan Jumat (23/9/2022) lalu dan tren penurunan ini memasuki minggu keempat berturut-turun dan jatuh ke level terendah sejak bulan Januari.
Penurunan ini terjadi di tengah meningkatkan kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi global yang dapat merugikan permintaan di pasar bahan bakar.
Melansir dari Forbes, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun 5 persen pada Jumat lalu, menuju ke level 79 dolar AS per barel, mencapai level terendah sejak bulan Januari.
Sementara harga minyak mentah berjangka Brent turun di bawah 87 dolar AS per barel, yang juga berada di jalur untuk penutupan terendah sejak bulan Januari.
Baik minyak mentah WTI maupun Brent, secara teknis berada di wilayah oversold, membukukan penurunan empat minggu berturut-turut pada hari Jumat. Ini menandai penurunan beruntun terburuk sejak bulan Desember lalu.
Kekhawatiran resesi yang meluas, telah membebani harga minyak dan baru-baru ini menghantam pasar saham, dengan indeks S&P 500 dan indeks Dow Jones Industrial Average jatuh pada perdagangan Jumat lalu.
Kedua indeks utama juga menetapkan titik terendah baru untuk tahun ini.
Baca juga: Harga Minyak Merosot 1 Persen, Terseret Kenaikan Suku Bunga The Fed
Penguatan Dolar AS, yang dianggap sebagai aset safe-haven, berkontribusi terhadap penurunan harga minyak.
Indeks Dolar AS ICE, yang melacak dolar terhadap mata uang lainnya, naik hampir 1 persen dan mencapai level tertinggi sejak tahun 2002.
Dengan Federal Reserve AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin untuk ketiga kalinya pada Rabu (21/9/2022) kemarin, bank sentral di seluruh dunia kemudian melakukan hal yang sama dengan mengumumkan kenaikan suku bunga.
Baca juga: Harga Minyak Anjlok, Investor Antisipasi Kenaikan Suku Bunga The Fed
Kekhawatiran pertumbuhan ekonomi global telah memicu "mode panik mengingat komitmen bank sentral untuk memerangi inflasi," kata analis pasar senior di Oanda, Edward Moya.
Sikap agresif bank sentral dengan menaikkan suku bunga dapat melemahkan aktivitas ekonomi, tambah Moya. Menurut analis ini, rally dolar diperkirakan akan memasuki level baru.
"Bank sentral siap untuk tetap agresif dengan kenaikan suku bunga dan itu akan melemahkan aktivitas ekonomi dan prospek permintaan minyak mentah jangka pendek. Rally dolar akan memasuki level lain yang dapat menjaga tekanan pada komoditas,” ujar Moya.
Saat ini, beberapa investor diprediksi akan beralih ke aset lainnya karena harga minyak telah tenggelam.
“Tidak hanya ada kekhawatiran tentang konsumsi karena meningkatnya risiko resesi, tetapi ini adalah ruang yang cukup ramai dengan banyak kegelisahan yang duduk di atas keuntungan tahun-ke-tahun yang sehat yang ingin mereka kunci,” kata pendiri Vital Knowledge, Adam Crisafulli.
Namun banyak analis tetap optimis dan memberikan pandangan secara hati-hati mengenai harga minyak yang rebound dalam jangka panjang.
Ketika sanksi terhadap energi Rusia diperketat di tengah perang yang sedang berlangsung di Ukraina, pasokan global dapat semakin terbatas, kata para analis. Akibatnya, banyak bank besar di Wall Street memperkirakan kenaikan harga minyak selama kuartal keempat tahun ini, terutama jika permintaan stabil dan persediaan rendah terus berlanjut.
"Meskipun semua penurunan yang memukul harga minyak, kegiatan ekonomi tidak jatuh dari tebing," bantah Moya.
Namun Moya memperkirakan, jika penurunan penjualan terus-menerus berlanjut hingga minggu depan, harga minyak mentah WTI bisa turun ke 74 dolar AS per barel.
Sementara kepala ekonom di Moody's Analytics, Mark Zandi mengatakan harga minyak akan berada di bawah tekanan kenaikan baru karena sanksi energi yang dijatuhkan Uni Eropa terhadap Rusia.
"Harga minyak pasti akan berada di bawah tekanan kenaikan baru karena Uni Eropa bersiap untuk menerapkan sanksinya terhadap minyak Rusia dalam beberapa bulan mendatang," kata kepala ekonom di Moody's Analytics, Mark Zandi.
Sementara beberapa impor minyak Rusia dari Uni Eropa akan dialihkan ke negara lain, karena "mengisi kekosongan dalam pasokan minyak bisa terbukti sulit, setidaknya cukup segera untuk menghindari lonjakan harga yang melemahkan," tambah Zandi.