Ekonom Sebut Perang Rusia dan Ukraina Berdampak Luas Hingga Timbulkan Resesi, Ini Faktornya
Dengan adanya perang di Eropa Timur itu mengakibatkan suplai gas dari Rusia ke Benua Biru menurun.
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, kondisi perekonomian dunia tidak aman atau resesi pada 2023.
Sebelumnya, memang pemerintah telah menyampaikan satu sinyalemen bahwa semua pihak harus bersiap, mulai dari masyarakat, dunia usaha, termasuk juga pemerintah baik pusat maupun daerah.
"Saya kira kalau kita lihat memang ada beberapa hal kenapa tahun 2023 relatif mendung ya dibandingkan 2022. Ada beberapa indikasi, yang pertama bahwa memang karena krisis perang Rusia dan Ukraina ini terus berlanjut," ujarnya dalam webinar Gelora Talks dengan tema "Waspada Resesi Ekonomi 2023", Rabu (19/10/2022).
Dengan adanya perang di Eropa Timur itu mengakibatkan suplai gas dari Rusia ke Benua Biru menurun, dan ini berimplikasi inflasi yang cukup tinggi di kawasan Eropa.
Baca juga: Ekonomi Dunia Terancam Resesi, Sri Mulyani Ungkap Sejumlah Strategi Pemerintah Dalam Menghadapinya
Selain itu, akhirnya cenderung untuk menimbulkan peningkatan tingkat suku bunga secara umum di berbagai negara di Eropa.
Tauhid menambahkan, situasi yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS) karena permintaan daripada masyarakat cukup tinggi dari sisi konsumsi.
"Sementara, inflasi berkepanjangan, dan ini mengakibatkan The Fed juga menaikkan tingkat suku bunga. Masalahnya ini kan The Fed menjadi sebagai acuan suku bunga dan putaran uang di pasar keuangan yang cukup besar," katanya.
Menurutnya jika melihat proyeksi 2023 berdasarkan dokumen The Fed yang dirilis bulan September lalu, maka kemungkinan kisaran titik tengah suku bunga berada di level 4,5 persen, atau bakal naik lebih dari 100 basis poin dari sekarang.
Kenaikan suku bunga tersebut berimplikasi menurunkan potensi perekonomian di Negeri Paman Sam tahun depan, karena ingin lebih mengatasi potensi tingginya inflasi ketimbang mendorong pemulihan ekonomi.
"Hal yang sama juga di negara Eropa, mereka sudah teriak mengatasi inflasi yang berkepanjangan baik kenaikan harga energi maupun pangan. Tentu saja ini memberikan implikasi ke Indonesia dari situasi dunia yang pertama melalui jalur suku bunga begitu dan nilai tukar," tutur Tauhid.
Dia menambahkan, katakanlah The Fed ini menaikkan tingkat suku bunga tahun depan, maka akan membuat arus modal keluar atau capital outflow cukup tinggi.
"Ini akan mengakibatkan nilai tukar kita tahun depan akan jauh lebih buruk dari kondisi sekarang. Ini yang dikhawatirkan mungkin berdampak terhadap banyak hal, termasuk kondisi perusahaan yang katakanlah punya utang cukup besar dalam mata uang dolar AS," pungkasnya.