Singgung Subsidi Terlalu Besar hingga Pemerataan, Pengamat Respons Positif Wacana Kenaikan Tarif KRL
Pengamat kritik polemik wacana kenaikan tarif KRL Jabodetabek. Pengamat singgung perihal subsidi terlalu besar hingga pemerataan di Indonesia.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Endra Kurniawan
Dalam hasil studi tersebut, kata dia, masyarakat cenderung tidak mempermasalahkan kenaikan tarif KRL sebesar Rp1.000 sampai Rp2.000.
“Ketika tarif akan naik, orang yang miskin sesuai dengan daftar yang dikeluarkan Kemensos plus anak sekolah, mahasiswa, plus manula itu subsidinya tetap sehingga tarifnya tidak naik,” tuturnya.
Agus pun menyoroti susbsidi yang diberikan pemerintah untuk transportasi kereta api yang mencapai Rp2,5 triliun. Dari angka tersebut, KRL Jabodetabek mendapat subsidi sebesar Rp1,5 triliun.
Jumlah tersebut dinilai terlalu besar, bahkan jika dibandingkan dengan tarif KRL di Solo maupun Yogyakarta.
“Tidak adil dengan KRL yang di Yogya-Solo yang lebih mahal, sementara pendapatan berbeda dengan yang di Jabodetabek,” kata dia.
Baca juga: Wapres Maruf Amin Minta Rencana Penerapan Perbedaan Tarif KRL Orang Kaya Diuji Coba Dulu
Dia menambahkan bahwa kenaikan tarif KRL tidak berdampak signifikan bagi masyarakat. Sebab wacana tersebut hanya menyasar kalangan menengah ke atas.
Selain itu, tujuan penyesuaian tarif untuk pemanfaatan subsidi pun jadi poin positif.
Meski di sisi lain, ia menganggap wajar jika dalam wacana kenaikan tarif KRL ini masih terdapat masyarakat yang menolak
“Enggak ada dampaknya menurut saya. Kan yang subsidinya dikurangi yang kelas menengah bukan kelas atas. Jadi tidak masalah. Pasti ada yang menolak, itu ada tidak mungkin 100 persen setuju, itu ga masalah,” katanya.
Terpisah, Pengamat transportasi Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan wacana kenaikan tarif itu sudah ada sejak 2018 silam. Itu pun sudah didukung dengan survei yang dilakukan YLKI.
Djoko lantas menyoroti pemberian subsidi Rp1,5 triliun bagi KRL Jabodetabek. Ia menilai angka tersebut terlalu besar dan cenderung tidak memberikan rasa keadilan bagi warga non Jabkdetabek.
Pasalnya, lanjut dia, subsidi bagi transportasi di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal hanya mendapat Rp125 miliar.
“Orang Jabodetabek paling banyak dapat subsidi. Sedangkan daerah lain tidak dapat. Kasihan. Padahal mereka menghasilkan batu bara, menghasilkan beras buat orang Jakarta. Jakarta mana ada batu bara mana ada beras, ga ada kan,” katanya.
“Artinya kita butuh pemerataan. Sebenarnya semua harus subsidi juga, cuman kan kemampuan negara harus diperhitungkan juga,” lanjut Djoko.