Perppu Cipta Kerja: Jalan Tengah Hadapi Resesi atau Muluskan Kepentingan Investasi?
Perppu ini diyakini oleh pemerintah sebagai satu di antara langkah untuk menghadapi ancaman resesi ekonomi global, agar meminimalisir potensi resesi
Penulis: Yanuar R Yovanda
Editor: Hendra Gunawan
Tetapi jika Perppu dalam keadaan darurat itulah dapat menabrak semua aturan yang ada, dapat menyampingkan hak-hak warga negara, dan harus ada deklarasi dari Presiden sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan bahwa Indonesia memasuki keadaan darurat.
Baca juga: Ekonom: Fundamental Ekonomi Indonesia Kurang Kuat Hadapi Resesi Ekonomi
"Di sisi lain, meskipun hanya ganti baju saja, keberhasilan Undang-Undang Cipta Kerja juga kita harus apresiasi dengan semangat reformasi birokrasi dalam berbagai aspek pemerintahan, kemudahan pengurusan perizinan berusaha, sehingga memudahkan berbagai UMKM dan pengusaha pemula. Meskipun begitu, banyak hal yang harus dibenahi seperti sektor izin lingkungan dan lainnya," ujarnya.
Tidak hanya itu, terdapat anggapan adanya legitimasi bagi kepentingan pengusaha besar dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja ini.
Khususnya dalam hal pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat, dan percepatan proyek strategis nasional.
Rizaldy menilai hal ini yang harus diperjelas oleh pemerintah, sehingga tidak menjadi isu yang simpang siur, karena kepentingan negara harus di atas kepentingan kelompok atau golongan.
Baca juga: Swedia Diprediksi Masuk ke Jurang Resesi Hingga 2024
"Pemerintah memang cukup responsif dalam melakukan berbagai kebijakan, tetapi harus mempunyai grand desain, di antaranya penataan sanksi yang hari ini hanya berpatokan terhadap pidana dan administrasi. Tetapi, ada yang lebih konsep besar, yaitu sanksi kode etik yang terintegral dalam peradilan etik nasional, sehingga para pejabat tidak melulu dikenakan sanksi pidana dan administrasi," tutur dia.
Adapun dalam pelaksanaan pemerintahan melalui Perppu Cipta kerja ini, dinilai ada hal menarik, yakni pada Pasal 174 yang berbunyi:
“Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden".
Dalam hal pasal di atas, semua pelaksanaan seluruh aktivitas pemerintahan pusat dan daerah dalam menjalankan Perppu ini harus dimaknai atas kewenangan Presiden.
Baca juga: Tantangan Bisnis dan Ancaman Resesi Jadi Bahasan Serius Praktisi dan Ekonom di Forum Ini
"Karena itu, Perppu ini terkesan sentralistrik atas kewenangan Presiden saja seolah-olah seperti titah raja yang diikuti oleh semua anak buahnya. Padahal, Indonesia menganut rule of law, bukan rule of man," kata Rizaldy.
Memang, lanjutnya, sifat Perppu ini adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU, karena membentuk UU prosesnya lama.
Dengan demikian adanya jalan Perppu untuk Presiden mengambil Langkah cepat dan strategis dalam keadaan memaksa/tertentu dan kedudukan Perppu ini bisa dikatakan sejajar UU.
Sementara, politik hukum yang dibangun pemerintah dengan adanya Perppu ini dinilai untuk mengantisipasi adanya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia.
"Lalu, terjadinya kenaikan inflasi berpotensi berdampak luas terhadap perekonomian nasional, sehingga harus direspons dengan konsep pembaruan dan kebijakan peningkatan daya saing serta daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam UU Cipta Kerja," pungkasnya.