Anggota Komisi XI Minta OJK Lakukan Pengawasan Deteksi Dini pada Industri Asuransi
Menurutnya berbagai kasus di industri asuransi harus menjadi momentum bagi OJK untuk melakukan reformasi di Industri Keuangan Non Bank.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Demokrat Marwan Cik Asan mendorong OJK untuk melakukan reformasi di Industri Keuangan Non Bank seperti asuransi agar dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Menurutnya berbagai kasus di industri asuransi harus menjadi momentum bagi OJK untuk melakukan reformasi di Industri Keuangan Non Bank.
“Perlunya OJK mengembangkan sistem pengawasan yang berbasis deteksi dini (early warning sistem) untuk industri asuransi, sehingga dapat dilakukan identifikasi penyebabnya lebih awal dan segera dilakukan korektif sebelum permasalahan yang ada semakin besar dan mengorbankan nasabah pemegang polis,” katanya Minggu, (5/2/2023).
Baca juga: Jokowi Beri 15 Kewenangan Penyidikan Sektor Keuangan pada OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurutnya telah merilis daftar 13 Perusahaan asuransi yang masuk dalam pengawasan khusus yang tengarai mengalami kesulitan keuangan. Beberapa waktu lalu, sejumlah perusahaan asuransi juga terjerat skandal gagal bayar yang mencapai triliunan.
Penyebab kasus gagal bayar yang terjadi pada semua jenis perusahaan asuransi, mulai dari BUMN, mutual, maupun swasta-nasional tersebut kata dia adalah masalah tata kelola atau GCG (good corporate governance) yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu pengawasan internal yang lemah, dan belum optimalnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK.
Oleh karenanya kata dia, pengawasan dengan sistem deteksi dini sangat penting dilakukan agar skandal gagal perusahaan asuransi tidak terjadi lagi.
“Hal ini berkaca dari kasus Jiwasraya dan Bumiputera yang telah mengalami permasalahan keuangan beberapa tahun sebelumnya namun dibiarkan berlarut-larut hingga akhirnya terjadi gagal bayar dan mengorbankan masyarakat,” katanya.
Baca juga: OJK Terima 14.764 Aduan di 2022, 49 Persen dari Industri Keuangan Non Bank
Menurutnya dalam melaksanakan penanganan perusahaan asuransi yang bermasalah, OJK harus mengedepankan perlindungan nasabah pemegang polis. Dalam beberapa kasus gagal bayar, ribuan orang telah menjadi korban, penyelesaiannya terkatung-katung dan para pelakunya telah pergi.
“Kondisi ini tidak boleh terulang lagi setelah OJK diberi kewenangan lebih sebagaimana diatur dalam UU No 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), dengan diberikan tambahan tugas dan kewenangan untuk penyidikan atas tindak pidana disektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK,” katanya.
Selain itu kata dia, untuk mempersiapkan berlaku efektifnya program penjamin polis pada tahun 2028 oleh LPS, maka OJK perlu memperkuat pengawasan market conduct dan upaya perlindungan konsumen. Pasalnya jika tidak, beban LPS akan menjadi berat dalam menjamin polis nasabah.
“Apalagi jika mencermati isi pasal 85 ayat (2) UU P2SK yang memungkinkan LPS menggunakan pembayaran premi sektor perbankan untuk membayar penjaminan sektor asuransi. Kondisi ini tentu tidak adil bagi sektor perbankan yang telah mengumpulkan premi puluhan tahun namun digunakan untuk pembayaran jaminan polis nasabah asuransi yang gagal bayar,” katanya.
Baca juga: Masuk Pengawasan Khusus, Satu Lagi Perusahaan Asuransi Jadi Pasien OJK
OJK Terima 14.764 Aduan di 2022, 49 Persen dari Industri Keuangan Non Bank
Sampai dengan 30 Desember 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerima 315.783 layanan, termasuk 14.764 pengaduan, 92 pengaduan berindikasi pelanggaran, dan 3.018 sengketa yang masuk ke dalam LAPS SJK.